Special Ramadhan Part 3 ┊⁀➷ Menghilang dari Dunia

2.6K 314 35
                                    

Suasana menjelang maghrib itu belum begitu kondusif, sampai Jufasya bisa mengusir Andhika. Pria yang memang pernah menjadi seorang ayah bagi Reynaldhi itu, pada akhirnya hanya memainkan peran antagonis di hidup anaknya sendiri. Bahkan, dengan mudahnya Andhika menyakiti anak yang sebenarnya tidak bersalah. Sampai anak itu sendiri menyalahkan dirinya, mengakui tuduhan sang ayah selama enam belas tahun.

Citra mengecup dahi Reynaldhi lembut, setelah mengompres kaki kanan anaknya yang sedikit membengkak. Pandangan anaknya kosong pada jendela kamarnya, "Kalau ada yang sakit bilang Mommy ya, nak."

Reynaldhi masih diam, matanya bergerak lambat untuk mengedip beberapa kali. Pandangannya tidak mau beranjak, seakan gorden putih itu lebih indah ketimbang wajah sang ibu. Citra juga tidak menuntut apapun, hari ini pasti melelahkan untuk anaknya.

"Mommy tinggal sebentar keluar, kalau kamu butuh sesuatu panggil aja, ya?"

Beruntungnya, kali ini Reynaldhi hanya mengangguk kecil. Suasana hatinya jauh dari kata baik, atau jika hati miliknya mampu berteriak kesakitan pasti sudah dilakukan. Hari ini, dirinya hanya sedikit bimbang, apakah bertahan sampai sejauh ini merupakan keputusan yang tepat?

Nging!

"Kamu membunuh istri saya!"

"Akan lebih baik jika kamu tidak pernah ada dunia ini, Reynaldhi."

"Ternyata Ayah dan Mas Kun benar, kamu membunuh ibu saya!"

Tubuh Reynaldhi dengan sendirinya bangkit dari kasur, kedua tungkainya berjalan ke arah meja belajar yang dibelikan Bara. Satu persatu laci ia buka dengan brutal, mencari satu hal yang pernah diberikan Citra beberapa bulan lalu. Hingga ketika salah satu kakinya tidak mampu berdiri, Reynaldhi duduk bersimpuh.

"Saya berharap besok kamu nggak pernah ada lagi di hadapan saya. Minum ini, sampai habis."

Reynaldhi membuka laci terakhir, ia menemukannya. Setengah botol pil berwarna putih, yang dulu Citra bilang adalah obat tidur. Dulu, Reynaldhi sudah mengonsumsinya beberapa butir sekaligus. Namun, paginya dirinya malah merasakan seluruh tubuhnya kesakitan, dan berakhir pada vas bunga yang mendarat di kepalanya.

"Jangan pernah muncul di hadapan istri saya lagi! Kalau perlu, kamu menghilang dari dunia ini."

Tanpa pikir panjang, Reynaldhi menelan tiga butir pil itu. Tidak peduli bagaimana nanti, Reynaldhi hanya ingin istirahay sejenak dari semua makian itu. Reynaldhi ingin pergi dari setiap tuduhan yang dijatuhkan padanya. Sebentar saja, tetapi tolong jangan ganggu dirinya.

"Reynaldhi!" Citra datang tepat setelah butir ketiga membuat Reynaldhi terbatuk, "Muntahkan itu! Kamu minum apa!"

Reynaldhi hanya terus terbatuk, obat tidurnya sudah sampai di kerongkongan. Maka, tidak ada yang bisa dimuntahkan lagi. Citra segera mendekap daksa anaknya kuat, tadinya dirinya datang untuk membawakan makanan untuk berbuka puasa. Namun ternyata, Reynaldhi sudah memilih bukaannya sendiri.

"Bibi!"

Seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh karena panggilan Citra, "Iya, Bu?"

"Buang itu, kalau perlu dibakar."

"Siap, Bu."

Citra kembali terfokus pada si bungsu, Reynaldhi masih terbatuk padahal kesadarannya sudah menipis. "Siapa ... siapa yang ngasih obat kayak begitu, sayang?"

"MomMommy ...."

Jantung Citra berdegup begitu kuat, dirinya mulai mengingat malam dimana dirinya menyelinap masuk ke kamar Reynaldhi. Citra memberikannya, agar Reynaldhi bisa tidur, dan tidak akan pernah bangun lagi. Tetapi bukan saat ini, Citra masih menginginkan anaknya bertahan lebih lama untuknya.

Reynaldhi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang