Dalam seumur hidupnya, Reynaldhi hanya pernah sekali mengharapkan kebahagiaan. Kala itu, setelah dirinya sadar di sebuah rumah sakit dengan kepala yang begitu pening. Kalimat sang ibu yang membuatnya yakin akan bertahan selamanya. Citra yang meyakinkan dirinya bahwa hidupnya masih begitu berharga.
Sayangnya, tepat hari ini semua pengharapan itu kandas di tengah jalan. Reynaldhi sungguh ingin mengutuk hari ini jika bisa. Hari ini, dia sudah berniat baik di pagi hari, dan berakhir kehancuran di penghujung hari. Reynaldhi berpikir, mungkin seharusnya ia menjadi orang jahat saja sekalian. Tetapi tidak bisa, untuk sekedar melukai wanita saja dia enggan.
Malam ini Reynaldhi meminta dengan sangat untuk dibiarkan sendiri di kamarnya. Citra tadinya sudah melarang, sebab Reynaldhi bisa melakukan apa saja ketika sendirian. Namun, Reynaldhi pula yang meyakinkan bahwa dirinya tidak akan berbuat macam-macam. Remaja itu hanya butuh waktu sendiri untuk benar-benar melewati malam ini.
Namun ketika jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Citra tidak tahan lagi, dirinya langsung masuk ke kamar anaknya. Citra harus memastikan Reynaldhi akan baik saja. Wanita itu dapat bernapas lega ketika menemukan Reynaldhi sudah terlelap.
Citra kembali mengelus rambut hitam pekat milik anaknya itu, "Maafin Mommy ..., kalau saja kamu lahir dari rahim Mommy ... hidup kamu nggak akan serumit ini."
"Mommy ...." Kedua manik Reynaldhi terbuka perlahan.
"Hai, sayang. Did i wake you up?"
Reynaldhi menggeleng, "Ndak ...."
"Besok kalau kamu nggak bisa, nggak papa. Mommy sama Daddy juga nggak maksa kamu buat ikut."
Reynaldhi tertawa kecil dengan manis, "Kalau nggak datang, nanti mereka makin bilang Rey nggak terhormat. Bagaimana nantinya, mau dipikirin nanti aja, Rey udah capek hari ini masa suruh mikir lagi."
"Kita harus nggak ikut, sayang. Besok kamu transfusi, kesehatan kamu lebih penting buat Mommy."
"Ehem. Kesehatan Rey memang lebih penting, tapi transfusi bisa di jadwal ulang, kalau acara keluarga yang ini nggak. Undur jadi lusa aja, Mommy ...."
"Rey ...."
"Please ... okay?" Pupil mata Reynaldhi bagai membesar dengan mata berkaca-kaca, sedang memohon kepada ibunya.
Citra tidak tahan dengan gemasnya Reynaldhi, kemudian langsung mengecup pipi anak bungsunya ini. Tak lama, ia merasa Reynaldhi menarik jemarinya untuk digenggam. Reynaldhi itu manis sekali, mungkin kalau si bungsu ini punya pacar akan bucin sekali.
"Kamu tuh gemes banget kenapa sih? Kalau punya pacar juga begini nanti?"
Reynaldhi bangkit sembari berusaha mendekap tubuh sang ibu. Anak itu menggeleng pelan, "Cintanya Rey cuman buat Mommy. Ehm ... sama Bunda."
Citra mengelus punggung Reynaldhi dengan hangat, "Kalau kangen Bunda ... kamu boleh datang ke Mommy setiap saat."
"Kalau datang ke Bundanya langsung boleh nggak?"
Citra menunduk untuk melihat wajah anaknya, "Mommy sentil ya ngomong gitu lagi."
Reynaldhi tersenyum, "Bercanda Mommy cantik."
"Udah senyumnya."
Bibir Reynaldhi maju sebal, "Emang kenapa? Biar ganteng."
Citra melunturkan senyumnya untuk Reynaldhi, kemudian menggeleng perlahan. Ingin mengisyaratkan bahwa, anaknya ini tidak boleh berpura-pura lagi. Kalau memang sedang tidak bahagia, senyum itu tidak perlu dipamerkan. Citra jadi lebih mengerti bagaimana Reynaldhi setelah beberapa bulan terakhir bersama anak ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Sonstiges"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...