Kelopak mata yang sudah lebih dari dua belas jam menutup itu, akhirnya perlahan membuka, menampikan manik kelamnya yang terlihat menyendu, tidak lagi bersinar seperti saat dirinya baru lahir.
Reynaldhi kembali mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan pada cahaya yang berlomba masuk ke retinanya. Semenit setelahnya, barulah Reynaldhi menangkap sosok sang Kakak yang menatapnya khawatir.
Sejujurnya, Reynaldhi belum ingin ditinggal sendiri oleh kakak keduanya itu, Reynaldhi masih ingin dimanja Evelyn sampau ia benar-benar sanggup mebghadapi semuanya sendiri. Reynaldhi memang manja, dan manja itu hanya bisa pada Evelyn.
Reynaldhi tersenyum, manis sekali. Laki-laki enam belas tahun itu kecanduan elusan lembut kakaknya, rasanya hanya itu penghiburnya, mengurangi rasa pening yang sedari kemarin mengganggu kepalanya.
Tidak lama kemudian, seorang dokter datang. Reynaldhi tidak yakin, tapi mungkin sebelumnya kakaknya sudah memanggil dokter lewat sebuah tombol merah di belakang ranjang pasien yang kini tengah ia tempati.
Terpaksa. Reynaldhi harus berhenti dielus oleh Evelyn sebentar, untuk membiarkan dokter leluasa memeriksanya. Tapi setidaknya, Reynaldhi tidak gelisah karena Evelyn masih berada di jangkauan penglihatannya, gadis itu tidak keluar dan hanya menyingkir sedikit.
“Masih pusing?” tanya dokter itu sambil tersenyum.
Ketika bisa mendengar suara dokternya, Reynaldi mulai menyadari jika sudah ada hearing aids di telinganya. Namun, Reynaldhi berdecak, bola matanya memutar malas, “Kan kau dokternya, seharusnta kau tau pasti apa yang dirasakan pasiennya.”
Dokter itu menghela nafasnya sabar. Reynaldhi itu memang masih remaja dan di usianya sekarang memang emosinya sangat tidak bisa dikendalikan, “Tapi bagaimana aku bisa tau bagaimana keadaanmu kalau kau tidak menjelaskan keluhannya padaku.”
Mata Reynaldhi menatap ke arah lain, malas sekali dia berurusan sama yang namanya dokter, meskipun ia tau kesehatannya sejak kecil pasti menandakan ia harus terus berurusan dengan dokter.
“Jangan melukai dirimu sendiri, tidak ada gunanya. Bagaimana Allah mau menerimamu di surga kalau kelakuan hamba-Nya suka melukai tubuh yang sudah diciptakan oleh-Nya,” lanjut dokter yang bernama Jufasya Woohari.
Reynaldhi menatap dokter itu dengan sinisnya, “Dokter mau alih profesi jadi penceramah ya?”
“Naldhi ... udah ah .... Jadi berantem sama dokternya. Maaf ya, Ju. Reynaldhi emang suka godain orang anaknya.” Evelyn maju, mendekati adik dan dokternya itu.
“Ah ... nggak papa, Eve. Anak-anak memang begitu.” Jufasya tersenyum manis menatap Evelyn, wanita yang dulu sempat mengisi hatinya.
Reynaldhi masih menatap sinis pada Jufasya, “Dokter nggak usah gatel sama Kak Eve, nanti aku aduin sama Mas Ardhan loh!”
Jufasya mengerjap lucu, “Eh? Pasien dokter udah berani mengadu ya?” Jufasya terkekeh mendengar celotehan ringan pasien kecilnya itu, “Yasudah, Eve. Reynaldhi udah nggak papa kok, besok kalau sudah benar-benar stabil, Reynaldhi boleh pulang.”
Mendengar kata pulang, Reynaldhi langsung antusias, “Kenapa nggak sekarang?” tanya Reynaldhi menatap Jufasya dengan mata yang berbinar.
Jufasya menghela nafasnya berat, “Yasudah, nanti malam kalau sudah baik, dokter izinkan pulang ya.”
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Random"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...