Ketika dipikir, belum pernah ada sedikitpun kebahagiaan yang pernah menyapa hidup Reynaldhi. Selama enam belas tahun, dirinya hanya ada sebagai penghancur kebahagiaan keluarganya sendiri, maka mereka menganggap Reynaldhi juga tidak akan pantas mendapat rasa bahagia itu.
Setelah pagi tidak menyapanya dengan hangat, siang pun hanya ia habiskan untuk meredam rasa sakit dengan tidurnya yang tidak nyenyak, bahkan malam juga tidak mau membaginya secuil kebahagiaan. Remaja itu memilih untuk mengalah pada Citra, tidak ingin membuat ayahnya ribut dengan wanita itu lagi, akhirnya Reynaldhi memutuskan untuk tidur sendiri.
Reynaldhi sibuk mengetikkan berbagai macam kata dalam banyak pesan yang akan ia sampaikan pada orang-orang yang menurutnya, memiliki banyak peran dalam hidupnya. Meskipun, peran yang mereka lakoni bukanlah protagonis bagi Reynaldhi, setidaknya mereka sudah mau memberi rasa dalam hidupnya, walau rasanya pahit.
Reynaldhi memejamkan matanya kuat, ketika pening menjalar kua di kepalanya. Tangannya sebenarnya sudah tidak sesanggup itu untuk mengetik begitu banyak kata, tapi Reynaldhi hanya ingin membuat sedikit permintaan maaf dan terima kasih.
Remaja itu juga susah payah tidak memperdulikan rasa sakit yang menyiksa persendiannya. Hingga pada saat akan mengetikkan beberapa diksi yang tepat untuk Juan, jarinya terhenti. Reynaldhi menjatuhkan ponselnya di kasur, dirinya sudah tidak sanggup menahannya.
Jemarinya meremat kuat sprei dan selimut, matanya memburam, pening itu sudah menguasai penglihatannya. Rasa sakitnya sudah tidak lagi bisa dijabarkan, Reynaldhi seperti merasakan dua kali lipat dari rasa sakit ketika ia mengalami kecelakaan beberapa hari lalu.
"Naldhi ...."
Pejaman mata Reynaldhi membuka perlahan, remaja itu tidak mengerti mengapa bisa mendengar panggilan itu padahal ia tidak memakai hearing aids. Reynaldhi menangkap sosok wanita yang duduk di sampingnya. Wanita itu cantik sekali, dengan gaun putihnya.
"Ini bunda, Dhi ...."
Reynaldhi mengernyit, pandangannya seketika pulih kala memandang wanita itu. Suara wanita itu juga begitu jernih di telinganya, dan entah kenapa hatinya percaya bahwa wanita itu memang Jihandra Latief, ibunya yang meninggal enam belas tahun yang lalu.
Tangan halus wanita itu membelai lembut surai Reynaldhi yang agak basah karena keringat. Raut wanita itu seakan mengetahui bahwa, Reynaldhi sedang kelelahan atas semuanya, penyakitnya, hidupnya, dan semua kenyataan yang tercipta selama ini.
"Maafin bunda, Dhi .... Maaf karena membiarkan kamu hidup seperti ini sendirian. Maaf karena bunda egois dan memilih pergi meninggalkan kamu di dunia yang kejam. Maaf, Dhi ...." Wanita itu melirih, namun Reynaldhi malah tersenyum.
"Ini beneran bunda kan? Bundanya Reynaldhi?"
Wanita itu mengangguk dengan tangis yang terurai di pipinya. Reynaldhi masih dengan senyumannya, rasanya menyenangkan bisa bertemu sang Ibu di saat ia tidak bisa menahan sakitnya, bagai ada penyembuh di sampingnya, "Ini bukan salah bunda, sepatutnya aku yang terima kasih karena bunda mau melahirkan anak sepertiku."
"Bunda pernah ingin membunuh kamu waktu itu, tapi bunda rasa itu bukan sebuah solusi. Dhi ... harusnya bunda aja yang hidup, kamu tidak berhak menerima semua kebencian itu, sayang."
Reynaldhi menggeleng pelan, "Awalnya, aku memang ingin menukar nyawaku dengan bunda, tapi ... setelah melewati semua ini, aku nggak akan biarkan bunda menderita. Biar aku aja yang hidup begini, bunda hanya perlu bahagia untukku disana."
Wanita itu tersenyum lembut, kemudian menidurkan tubuhnya di samping Reynaldhi. Wanita itu memeluk erat tubuh anaknya yang bergetar, berharap bisa mengurangi sakit yang tengah dirasakan Reynaldhi. Jihan mengecup pelan kening Reynaldhi, "Besok bunda jemput ya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/249172708-288-k128666.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Aléatoire"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...