3 ┊⁀➷ Mengurangi Rasa Sakit

12.6K 1.4K 147
                                    

Andhika memandang sendu figura seorang wanita cantik yang selama lebih dari dua puluh lima tahun menemani dirinya di dunia. Menjalin kisah kasih yang kini sangat amat Andhika rindukan.

Andhika mengusap pelan figura foto wanita itu, saat itulah setetes air mata mengalir melewati pipinya. Hanya wanita itu yang mampu membuatnya sampai terlihat selemah ini. Sangat menyakitkan saat seorang suami harus ditinggalkan istrinya secara tiba-tiba setelah melahirkan seorang buah hati mereka.

“Maafin aku ... maafin aku ....” Andhika terisak, mengingat betapa sulit perjuangan istrinya untuk mengandung Reynaldhi saat itu. Di usia istrinya yang memang sudah menginjak empat puluh tahun, dan pada akhirnya ia gagal menjaga sang Istri.

Ibu dari tiga anak itu mengalami pendarahan hebat di usia kandungan masih menginjak tiga puluh satu minggu. Sayangnya, saat itu Andhika malah tengah berada di luar kota untuk urusan bisnis, Kuntara juga belum pulang sekolah, Evelyn di rumah namun ia masih begitu kecil.

Istri Andhika meninggal, karena terlambat ditangani. Beruntung karena anaknya masih bisa terselamatkan. Tapi mungkin sekarang, itu bukanlah lagi sebuah keberuntungan, itu sebuah kesialan bagi Andhika, karena anak itu harus lahir.

“Sayang ... kenapa harus kamu? Wanita sehebat kamu ... hiks ... harus berkorban demi anak cacat dan nggak berguna seperti si Bangsat itu.” Andhika bicara sambil menggeran kesal, awalnya memandang kedua bola mata anak sulungnya adalah candu baginya, tapi setelah sang Istri meninggal bahkan wajah anak itu bagai sebuah dosa besar yang tidak bisa diampuni.

Krak!

“Iya! Aku tau aku memang bangsat yang telah membunuh bunda! Aku tau ayah! Ayah tidak usah nangis sambil mengadu pada bunda, aku, ayah! Aku yang akan merasa bersalah disini!” Reynaldhi mendengar semua kalimat ayahnya, membuatnya dengan kasar melempar alat bantu dengarnya.

Andhika berdecak, langkahnya mendekat pada tubuh basah kuyup si Bungsu. Entah darimana anak otu tiba-tiba masuk dan sudah berada di ruang tamu, tempat Andhika memandangi foto wanita cantiknya.

Sret!

Andhika tersenyum sinis, tangannya mencengkram erat dagu Reynaldhi hingga anak itu mendongak, “Itu ... kau tau kalau kau itu bangsat! Bisa-bisanya kau disini enak-enakan hidup, sedangkan istriku meninggal. Kau tau? Kelahiranmu adalah sebuah kenyataan pahit untukku.”

Reynaldhi menahan sakit akibat cengkraman ayahnya, dan juga menahan dadanya yang sesak akibat menahan tangis, “Aku selalu berdo’a agar nyawaku bisa ditukar dengan bunda, agar ayah tetap bahagia! Tapi kalau ayah punya pikiran, ayah pasti tau kalau itu mustahil!”

Bugh!

Duakh!

“Ekh!” Reynaldhi tercekat, bibirnya kembali terluka, perutnya mungkin sudah membiru akibat tendangan kasar sang Ayah. Katakan saja Reynaldhi anak durhaka sekarang, berani membentak ayahnya sendiri, mengatai ayahnha sendiri.

Tapi bagaimana dengan sang Ayah?

Apa sedikit saja Andhika pernah bicara lembut pada Reynaldhi?

Apa pria itu pernah memberikan sedikit saja kasih sayangnya?

Duakh!

Reynaldhi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang