Senja sudah menampakkan dirinya, saat itu keadaan di rumah sakit masih tenang. Jufasya masih sedikit bersantai di bagian resepsionis untuk meminta data pasien yang akan ia tangani, dirinya sendiri juga baru beberapa menit lalu tiba di rumah sakit.
Selang dua menit, suasana di depan pintu masuk instalasi gawat darurat ricuh dan panik, ketika sebuah ambulans tiba di sana. Beberapa perawat sudah berlari keluar, siap menangani pasien mereka. Kebetulan, hari ini adalah shift Jufasya.
"Dokter, pasien kecelakaan!" Mendnegar teriakkan itu, Jufasya yang tadinya bersantai, kakinya dibawa lari secepat kilat keluar.
Menunggu beberapa detik, hingga pria itu melihat pintu ambulans terbuka lebar. Jufasya diam membeku, melihat siapa yang ada disana, memandang dalam bisu siapa yang mendampingi pasien gawat daruratnya itu.
"Dokter, ayo!" Seorang perawat berteriak padanya, menyadarkan Jufasya yang masih diam, padahal brankar sudah diturunkan.
"Fasya! Cepat!" Suara Bara, sang Ayah. Orang yang menampingi pasien gawat daryrat itu ayahnya. Sementara, orang terbaring di brankar dengan balutan perban seadanya berbecak darah, adalah Reynaldhi. Jujur, dirinya sendiri bisa menyimpulkan keadaan anak itu sangat parah.
Semua perawat sudah berlari masuk ke dalam ruang instalasi gawat darurat, tapi Jufasya masih diam membeku di tempat yang sama. Seakan memang tidak berniat melakukan pekerjaan mulianya hari ini, kepalanya menggeleng pelan.
"Fas! Kamu gila?!" Jaefan mengguncang tubuh Jufasya kuat.
Jufasya makin yakin untuk menggeleng, "Nggak, bang. Biarin ... biarin anak itu mati!"
Jaefan terdiam, menatap adiknya tak percaya. Baru kali ini, Jaefan Pradipta tidak mengenali siapa adik yang ada di hadapannya. Jufasya yang dulu begitu bertekad untuk menjadi dokter, Jufasya yang dulu mengorbankan segalanya untuk menangani Reynaldhi sendiri, "Kamu bukan adikku, Fas."
"Cari dokter lain cepat!" Bara berteriak saat ikut mendorong brankar Reynaldhi, tidak peduli jika anaknya tidak mau menangani Reynaldhi, masih banyak dokter lain yang bisa ia bayar.
Jaefan menatap Jufasya singkat, kemudian memukul adiknya itu kuat. Tubuh Jufasya sampai limbung, pukulan kakaknya tidak main-main. Jaefan menarik nafasnya, "Kamu nggak perlu peduli siapa Reynaldhi! Tapi, kamu harus ingat kamu dokter disini, Fas! Buat apa sumpah hipokrates itu, kalau akhirnya kamu hanya jadi sampah kayak gini?!"
"Biarkan aku jadi sampah untuk anak itu. Kenyataannya, kalau Reynaldhi nggak pernah ada, keluarga kita masih baik-baik aja." Jufasya menatap nanar kakaknya.
Jaefan menggeleng seakan tidak percaya pernah mendengar itu dari adiknya, "Kamu beneran nggak waras, Fas."
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Aléatoire"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...