Kemarin, mata itu memang sempat mengeluarkan air matanya. Kemarin, manik yang sudah lama tak terbuka itu memang hampir saja akan menutup selamanya. Kemarin, detak jantungnya sempat menyerah, tak ingin lagi berurusan dengan masalah dunia yang begitu berat baginya.
Tapi, hari ini. Semua tentang kemarin bagai dimusnahkan dalam secercah gerakan pelan dari bulu matanya. Kelopak mata itu, dengan berat berusaha membuka. Anak itu, sudah memutuskan, entah untuk waktu yang lama atau singkat, tapi yang pasti, Reynaldhi masih ingin berjuang.
Matanya yang membuka perlahan, tapi pandangannya masih memburam dalam kedipan pertamanya. Hingga, anak itu mencoba mengedip lagi untuk kesekian kalinya, sampai pandangannya tak lama makin jelas.
"Rey ... nak?"
Tanpa ada sepatah kata sambutan, Jaefan berlari begitu saja keluar ruang rawat Reynaldhi. Secepat kilat pria itu memanggil dokter, sampai melupakan bahwa ada benda kecil berwarna merah di belakang ranjang pasien yang digunakan untuk memanggil tim medis.
Reynaldhi belum bisa menjawab sapaan pertama Bara, kepalanya masih pening dan telinganya belum bisa menangkap suara apapun. Gerakan matanya juga masih perlahan, mengikuti gerakan mulut Bara yang seperti mengajaknya bicara, namun tidak bisa ia dengar.
Sepersekon kemudian, seorang dokter muda yang sepertinya seumuran dengan Jufasya di mata Reynaldhi itu datang dengan Jaefan dan perawat di belakangnya. Reynaldhi hanya bisa menatap mereka lemah, rasa sakit juga mulai terasa dari tenggorokannya.
"Yang kemarin masih berlanjut ternyata? Ada rencana apalagi untukku?" batin Reynaldhi, setelah sepenuhnya mencerna bahwa dirinya baru saja sadar dari koma.
Dokter Arga mengajak Bara untuk mengobrol di luar ruangan, membiarkan Jaefan menjaga Reynaldhi untuk sementara. Pertama-tama, Dokter Bara menghela nafasnya dulu, "Begini, memang ada kemajuan dari kondisi Reynaldhi, tapi komplikasi masih bisa terjadi, maka saya minta jangan sampai Reynaldhi stres, atau bahkan sampai terluka lagi."
Bara mengangguk, ia mulai mengingat jika Reynaldhi juga penderita hemofilia. Jujur, ada rasa penyesalan dalam dirinya, kalau saja ia bisa menahan Reynaldhi sebelum kecelakaan itu terjadi, pasti tidak akan seperti ini.
"Saya anjurkan bapak bisa membeli hearing aids di apotek depan rumah sakit, agar tidak sulit berkomunikasi dengan Reynaldhi nantinya." Dokter Arga melanjutkan. Setelahnya, pria itu pamit dari adapan Bara.
.
.
.
.
.
.
"Rey ...."
"Rey ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Random"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...