20 ┊⁀➷ Tinggal Kata

10.2K 1.2K 279
                                    

Jufasya tersenyum puas ketika akhirnya dia merasa yang telah memenangkan permainan takdir untuk keluarganya. Bara, Jaefan, bahkan Kirana disini terlihat bahagia menikmati makan malam yang diciptakan dari usul pria berprofesi dokter itu. Setidaknya, semua kebahagiaan ini juga ia lakukan untuk dibagikan kepada seluruh keluarganya, dan keluarganya harus kembali seperti semula.

Malam ini, Jufasya juga membiarkan Juan egois atas ayah dan ibunya, dia adalah adik bungsu kesayangannya. Jufasya benci melihat Juan kadang murung karena kesibukan Bara atau tidak bisa bertemu Citra.

"Daddy ... mau suapin lagi!" Juan bermanja dengan sang Ayah. Posisi duduknya yang berada di tengah antara Bara dan Citra membuat Juan terlihat seperti kembali ke masa bayi.

Bara tersenyum kemudian memberikan sebuah suapan untuk anaknya, sementara Citra mengelus pelan surai Juan yang masih wangi bekas tadi sore remaja itu mengeramasinya. Juan akhirnya bisa mendapatkan keluarga yang utuh seperti ini, rasanya lebih dari apapun.

Di tengah senyuman indah yang terbit di wajahnya, Kirana memandang ponselnya yang terletak di atas meja, memandang sudah pukul berapa sekarang. Wanita itu mulai sadar bahwa ia sudah lebih dari dua jam meninggalkan Reynaldhi sendirian di rumah sakit.

Kirana menggenggam tangan Jaefan untuk memberi isyarat. Jaefan menoleh, menatap wajah tersenyum Kirana sambil menelisik apa yang sebenarnya akan disampaikan. Butuh satu menit hingga Jaefan akhirnya menyadari bahwa, "Rey ...."

"Kamu sebaiknya masih disini, biar aku aja yang ke rumah sakit," bisik Kirana.

Jaefan menggeleng, "Rey itu adikku, dia belum menjadi tanggung jawab kamu. Lagian kamu nggak boleh sendirian malam-malam kayak gini."

"Ran? Jaef? Ada apa? Kalian kelihatan panik," tanya Citra menyadari obrolan berbisik dari Jaefan dan Kirana.

Bara yang sedang bergurau dengan Juan juga ikut terhenti, menoleh pada Jaefan dan Kirana. Pria itu mengernyit sebentar, kemudian menyadari sesuatu, "Citra, kami harus kembali ke rumah sakit."

"Mas?!" Citra menaikkan suaranya.

Juan menatap ayahnya nanar, "Daddy ... nggak peduli sama aku?" lirihnya.

"Ju ... nggak kayak gitu, daddy sayang banget sama kamu, tapi sekarang yang butuh daddy bukan cuman kamu sayang. Daddy harus pergi dulu, ada mommy kan sekarang?" balas Bara sambil mengusap pelan wajah Juan.

"Ran," panggil Jufasya, Kirana menoleh. "Ikutan peduli sama anak haram itu juga? Kalau begitu, sama saja kau ingin menghancurkan keluarga calon suamimu, atau bahkan kembali menunda pernikahan kalian."

Kirana mengernyit, sedikit tersinggung dengan ucapan Jufasya, "Memangnya apa salah Reynaldhi sama kamu sampai kau bahkan tidak mau menyebut namanya?"

"Fas, kamu itu dokter, jaga bicara kamu dong." Jaefan menambahkan.

"Salah Reynaldhi tentu saja karena dia yang telah membuat keluargaku hancur berantakan kayak kemarin. Sekarang, giliran perlahan akan diperbaiki anak itu juga masih mengganggu? Ran, kamu harusnya sadar anak itu yang telah membuat pernikahan kamu dan Bang Jaef hampir gagal!"

Jaefan menghela nafasnya sabar, "Egois ternyata kamu, Fas. Abang nggak tau kenapa kamu bisa menjadi seorang dokter, padahal kamu seegois ini."

"Bang, ini nggak ada hubungannya dengan pekerjaan aku." Jufasya berdecih pelan.

"Sudah. Terakhir kita berdebat kayak gini, Reynaldhi hampir mati di kecelakaan itu. Suka atau tidak suka, daddy, Jaefan, dan Kirana akan kembali ke rumah sakit."

.





.





Reynaldhi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang