Special Ramadhan Part 6 ┊⁀➷ Pentingnya Reynaldhi

3K 304 11
                                    

Sebuah kalimat yang keluar dari bibir Reynaldhi malam itu sungguh membuat Citra terkejut. Ada rasa bersalah yang begitu besar dalam hatinya, dalam setiap katanya Reynaldhi lpntarkan dengan begitu lirih. Mungkin, kalau dirinya masih membenci Reynaldhi, anak itu sudah tidak bisa lagi ia dekap seperti ini.

"Nggak— nggak mau disumpahi mati lagi ...."

Citra sontak menatap Jaefan meminta penjelasan, meskipun tangannya masih berusaha menyamankan Reynaldhi. Anaknya sudah hampir tertidur karena lelah yang lebih menguasainya. Citra mendesis, "Sudah, Mommy nggak akan bawa ke rumah sakit. Kamu aman disini sama Mommy."

"Ja—ngan dilepas ya, Mommy .... Nanti Rey jatuh ...."

"Iya, sayang. Mommy nggak akan lepasin, sekarang kamu tidur ... mimpi yang indah," ucap Citra, kemudian mengecup kepala Reynaldhi dengan banyak rasa cinta.

Setelah lima menit, napas Reynaldhi berhasil teratur, walaupun masih sesekali bibirnya menggertak kedinginan. Citra terus mengompres pipi, dahi, dan leher Reynaldhi agar tetap hangat. Dibantu Kirana yang memeras dan mengganti kainnya.

"Mommy nggak papa posisinya?"

Citra tersenyum manis sambil memandangi tenangnya wajah Reynaldhi dalam tidur, "Nggak papa, buat Reynaldhi. Mommy berani bertaruh, enam belas dia hidup, belum pernah ada orang yang mampu membawanya dalam posisi ternyaman ini."

"Mommy ... masih ngerasa bersalah banget, ya?"

Tatapan Citra tiba-tiba kembali tertuju begitu instens untuk si sulung, "Kamu yang tau bagaimana Mommy dulu sama Reynaldhi. Menyumpahi dia mati ... bahkan, Mommy udah mencoba bunuh dia sejak dia masih dalam kandungan."

"Mommy ...?"

Citra mengusap perlahan air mata yang menggenang di matanya, "Waktu itu ... Mommy baru selesai mengurus surat cerai, Juan baru tiga bulan. Mommy pulang ke Jakarta sebentar, dan malah ... tidak sengaja bertemu dengan Ayahmu, juga ibunya Rey. Mommy bertengkar hebat dengan ibunya Rey, sampai seminggu kemudian Mommy dapat kabar Jihan meninggal."

Jaefan dan Kirana terdiam membisu mendengar cerita haru Citra. Sang ibu menghela napasnya sedikit lebih panjang, "Rey belum tau soal ini ... Mommy takut nanti dia benci sama Mommy ...."

Dengan segera, Jaefan menggenggam tangan ibunya, "Soal seseorang yang menyumpahi Rey mati ... itu bukan Mommy yang dia maksud."

Kirana ikut menoleh ke arah suaminya, "Heum?"

"Jufasya. Waktu habis kecelakaan, Rey dibawa ke rumah sakitnya Jufasya. Tapi, Fasya nggak mau nanganin dan minta buat biarin Rey mati gitu aja. Mungkin ... Rey dengar, setengah sadar dan nggak tau siapa yang bilang."

Kirana tertegun sedikit lama, terpikir sesuatu, "Makanya selama ini, Rey memberi jarak sama Fasya, Kak. Rey nggak bisa terlalu lama berbincang sama Fasya."

Jaefan mengangguk pelan, "Sama ada satu lagi, Mom." Jaefan berlari keluar kamar Reynaldhi, dan kembali dengan beberapa lembar sticky notes berwarna kuning kusam. Jaefan memberikannya kepada Citra, "Kalau Mommy lihat tanggalnya, semuanya harapan Reynaldhi sejak kecil di ulang tahunnya."

Ketika Citra membalik untuk lembar terakhir, air matanya langsung berjatuhan, "Re—Rey ...."

Kirana membantu nenenangkan sang mertua dengan mengusap paha Citra, "Itu ... Ran temuin di kamar Rey, waktu beresin barangnya di rumah Pak Andhika. Rey berhenti menulis di umur sembilan tahun, mungkin saat itu juga pertama kalinya Rey disumpahi mati."

"Ada banyak hal yang suka ia tulis di buku-buku tulis pelajarannya. Mungkin karena sejak kecil ia sulit mengungkapkan perasaan, dan sulit mendengar. Beberapa guru di sekolahnya juga sering bilang Rey adalah anak yang berprestasi sejak sekolah dasar. Di tahun 2012 dia pernah nulis kalo Pak Andhika nggak peduli soal prestasinya."

Reynaldhi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang