Sebulan penuh yang dinamakan Ramadhan ini, setiap malamnya menjadi hari yang paling membahagiakan. Begitu juga ketika ketiga kalinya Andhika menunggu kelahiran anaknya. Banyak kekhawatiran dalam benaknya, sebab sempat terjadi komplikasi dari kandungan istrinya. Namun, Yang Kuasa masih melindungi istri dan anaknya malam itu, tepat tanggal 2 November 2004.
Andhika menatap dari luar inkubator betapa manisnya seorang bayi laki-laki. Wajahnya begitu mirip dengan sang Ibu, Jihan menurunkan hampir semuanya untuk anak itu. Andhika tersenyum senang melihatnya, menggemaskan. Bayi yang masih merah itu, masih bisa bertahan, setelah ibunya mengalami pendarahan di usia kandungan masih menginjak tujuh bulan.
Andhika mengelus perlahan surai sang Istri. Manik Jihan sudah begitu sayu, hidungnya dipasang nasal cannula agar mampu bernafas dengan normal. Andhika menarik nafasnya berat, dokter mengatakan keadaan Jihan masih lemah akibat kehilangan banyak darah. Selain itu, dokter juga menambahkan Jihan terlalu stress sampai kandungannya lemah.
Pria di hadapan Jihan, mengecup keningnya lembut, "Maafin aku nggak bisa selalu ada di samping kamu ... sampai kamu stress begini, sayang."
Jihan menatap sendu suaminya, "Mas ... aku yang minta maaf ...."
Andhika menggeleng perlahan, "Bukan salah kamu. Lagipun, Reynaldhi Mbayang Ramadhan kita, sudah terlahir dengan selamat dan sehat, sayang."
Jihan malah tersenyum kecil, "Tolong ... jangan benci dia ya, mas?"
"Sayang?"
Jihan berusaha meraup oksigen yang mulai menipis, "Bayi itu ... bukan anak kamu. Maaf ... maaf aku bukan istri yang baik buat kamu ... maaf aku jadi harus menyakiti kamu."
Andhika mengernyit, kepalanya menggeleng perlahan tidak percaya, "Kamu bohong kan? Laki-laki ... laki-laki mana, sayang? Reynaldhi itu anakku kan? Jihan ...?"
Ada banyak keterlambatan dalam beberapa hal yang diketahui Andhika. Namun, fakta itu menjadi kebenaran terakhir yang ia ketahui. Jihan meninggal beberapa menit setelahnya, membuat Andhika begitu terpukul. Saat itu, Kuntara sudah lebih besar dan mampu mengerti setiap situasi yang dimaksud.
Reynaldhi, memang dibawa bersama keluarganya, namun anak itu bahkan tidak pernah sekalipun merasakan pelukan ayahnya sendiri. Reynaldhi belum pernah tau rasanya dijemput ayah sepulang sekolah. Reynaldhi juga belum pernah tau rasanya bermain bersama kakaknya. Untuk waktu yang lama, Reynaldhi menginginkannya. Meski pada akhirnya, dirinya menyerah dan memilih jalannya sendiri.
Tepat pada hari ini, sembilan tahun Reynaldhi lahir. Evelyn yang biasanya menemani Reynaldhi merayakan ulang tahun kecil, kini tengah ada tugas sekolah yang harus menginap. Reynaldhi kini harus merayakan ulang tahunnya sendiri, dengan sebuah kue kecil yang dibeli dari tabungannya. Evelyn memang sering membagi uang bulanannya sedikit untuk Reynaldhi, namun anak itu tidak pernah menggunakannya untuk jajan.
Alih-alih memakan sendiri kue hasil tabungannya, Reynaldhi malah membawa kue itu ke kamar sang Ayah. Reynaldhi sebenarnya bingung, kenapa ayahnya tidak pernah mau merayakan ulang tahunnya, sedangkan Evelyn dan Kuntara saja bisa besar-besaran. Tangan kecilnya mengetuk perlahan pintu ruang kerja dengan senyuman mungilnya.
Tak menunggu lama, Andhika akhirnya membuka pintu ruang kerjanya. Wajahnya berubah ketus, ketika memandang Reynaldhi yang datang. Anak itu belum pernah menjamah ruang kerjanya, jadi wajar saja Reynaldhi tidak langsung masuk. Andhika bahkan hampir menutup kembali pintunya, kalau bukan tangan mungil Reynaldhi menahannya.
Reynaldhi tersenyum manis, maniknya bagaikan tengah meminta waktu, "Naldhi tau ayah tidak ingat, tapi tahun ini biar ayah bisa ingat, kuenya Naldhi kasih ayah aja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
De Todo"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...