Keluarga Bara kini tengah berkumpul bersama di meja makan, mengingat sekarang sudah jam makan malam. Tentu saja tanpa Reynaldhi, atau mungkin saja akan terjadi keributan lagi. Reynaldhi juga masih tertidur semenjak tadi siang. Bara memaklumi anaknya itu melewatkn beberapa waktu sholat, yang penting Reynaldhi bisa istirahat dengan tenang.
Kirana paling cepat menyelesaikan makannya, bahkan ia sudah berdiri duluan. Kirana langsung berjalan menuju dapur dan menghangatkan makanan yang dia buatkan khusus untuk Reynaldhi, melihat itu Citra sontak bertanya, "Mau kemana, Ran?"
Kirana tersenyum pada Citra, "Mau nganterin ini buat Reynaldhi, mom."
Raut wajah Citra yang terlihat ceria sebelumnya langsung berubah muram, "Disini aja dulu, Cit. Temenin Jaefan."
Jaefan yang masih mengunyah tiba-tiba saja mengernyit, mendengar namanya dijadikan alasan Citra, "Nggak usah, mom. Lagian Kirana aku yang minta."
Kirana mengangguk sambil tersenyum lagi, "Aku ke kamarnya Rey dulu ya, mom."
Kirana pergi, namun masih meninggalkan kekesalan mendalam di hati Citra, rasanya begitu tidak rela kala masih ada orang yang peduli dengan anak yang sudah membuat kehidupan dan pernikahannya hancur berantakan.
Citra menatap Jaefan dengan pandangan datarnya, "Ngapain kamu nyuruh calon istri kamu ngurusin anak itu? Dia nggak punya kewajiban untuk itu, Jaef."
Jaefan menghela nafasnya pelan, "Sekarang memang belum punya, tapi Reynaldhi itu adikku jadi nanti Kirana juga akan punya tanggung jawab merawat adik-adikku juga. Lagian, bukannya seharusnya itu pelajaran untuk menjadi seorang ibu, itu tugas mommy seharusnya, jadi kalau mommy tidak mau melakukannya jangan larang orang lain melakukan itu."
Citra berdecih tidak suka, "Seorang ibu kan? Tapi dia bukan anakku."
"Dia anakku, dan berarti anakmu juga, Citra." Bara menyambar, menatap tajam sang Istri agar tidak memperumit pembicaraan.
Citra memilih diam, berbeda dengan Jufasya yang kini malah emnatap sengit pada ayahnya sendiri, "Aku beneran nggak ngerti sama daddy dan abang. Kenapa harus melakukan hal sia-sia buat Reynaldhi, merawatnya, ngasih makan, tempat tinggal," ujar Jufasya ketus.
"Nggak sia-sia, Fas." Jaefan mengelak.
"Sia-sia, buat apa ngelakuin itu kalau sebentar lagi dia juga mati."
"Jaga, omongan kamu Jufasya!" bentak Jaefan, tubuhnya berdiri ingin menggertak.
"Bang, aku dokter, dan dokter yang menangani anak itu dekat denganku, aku juga tau alasan dia memperbolehkan Reynaldhi pulang. Apalagi, tentu saja karena pihak rumah sakit sudah tau dia akan mati."
"Jufasya!"
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Random"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...