Sebuah kesalahan fatal yang pernah diperbuat, memang bisa saja tidak langsung berdampak pada diri kita sendiri. Karena sebenarnya dampaknya juga ada pada orang-orang di sekitar kita. Reynaldhi pernah bertanya, apakah dirinya tidak direncanakan ketika dibuat, mungkin jawabannya iya. Bukan oleh Tuhan, melainkan dari siapa yang terlahir.
Citra selalu berharap, jika Reynaldhi adalah anaknya, anak kandungnya. Maka, anak yang kini betah dalam rangkulannya tidak akan sehancur itu. Sama seperti Juan, Reynaldhi akan jadi anak yang bahagia tanpa menerima konsekuensi dari siapapun. Rasa bersalahnya, setiap hembus napasnya, semuanya berbalut penyesalan dari Bara dan Jihan.
Mata berbinar yang kini hampir menangis itu hanya bisa menatap lekat sang ibu, "Rey kecewain Abang, ya? Rey malah bikin semuanya jadi kacau ya, Mommy?"
Setelah mendengar itu, Kirana menarik dua lelaki yang tidak tau malu di hadapan Reynaldhi. Lebih baik jika Jufasya dan Jaefan tidak berada di dekat Reynaldhi terlebih dahulu. Karena kini, harapan Kirana adalah Reynaldhi baik-baik saja, maka tidak ada perasaan bersalah dari suami atau adik iparnya.
Citra bergantian menatap kepergian dua anaknya dan Reynaldhi. Wanita itu menghela napas sedikit panjang, sembari mendekat, "Kamu kenapa nggak bisa sekali aja ... bener-bener dengerin apa yang Mommy bilang? Rey?"
"Mom ...."
"Mommy udah disini, selalu ada buat kamu. Seenggaknya, dengerin Mommy, sedikit aja, Rey. Kamu punya hearing aids, kan? Kamu bisa jelas dengerin Mommy, kan? Kalau kamu selalu mikirin tentang pendapat orang lain, kamu nggak akan pernah bangkit dari hancurnya kamu!"
"Justru karena Rey punya hearing aids ..., Rey bisa—"
"Rey, stop! Kalau kamu masih nggak bisa pergi dari masa lalu kamu sendiri, kamu masih nyalahin diri kamu sendiri, Mommy nggak bisa di sisi kamu terus."
Dalam beberapa detik suasana seketika hening, Reynaldhi yang masih diam menatap sang ibu, dan helaan napas lelah Citra terdengar. Lelah itu pasti ada, apalagi disini Citra adalah seorang ibu dari tiga anak lelaki, ditambah Reynaldhi. Citra merasa keberadaannya sia-sia jika Reynaldhi sendiri masih tenggelam dalam masa lalunya.
Remaja itu memejamkan maniknya, menahan tangis yang sudah hampir keluar. Reynaldhi tertegun sebentar, kemudian tersenyum kecil, "Makasih, Mommy. Rey minta maaf nggak bisa jadi anak yang seperti Mommy harapkan. Hari ini, Rey akan coba ... lupain semuanya sendiri, tanpa Mommy."
"Rey ... maafin Mommy, maksud—"
"No, Mommy. Mommy nggak salah, Mommy bener, yang bisa sembuhin Rey, cuman Rey sendiri. Nanti Rey coba ... sendiri, sampai berhasil. Mommy jangan lihat Rey dulu, nanti aja kalau Rey udah selesai berantem sama masa lalunya."
Wanita di hadapannya terdiam, bukan begini yang ia harapkan. Citra mungkin hanya lelah, hingga bicara sebegitu menyakitkan untuk Reynaldhi. Namun, senyuman Reynaldhi juga membuatnya membiarkan anak itu sendirian untuk sementara di kamarnya.
Citra kembali membuka lebar pintu kamar Reynaldhi sebelum benar-benar menutup rapat, "Bahkan nanti saat—"
Reynaldhi mengangguk, "Hari ini ... biarin Rey hadapin sendiri."
Dalam relung hatinya yang paling jauh di dalam sana, Citra memang salah mengatakan hal demikian. Kalau dikatakan lelah, mungkin anak itu lebih lelah. Kalau dikatakan pembangkang, anak itu sudah mencoba menjadi yang terbaik. Reynaldhi terus mengulang soal kesalahan yang tdiak pernah ia perbuat, Citra lelah mendengarnya karena itu juga merupakan penyesalannya. Tetapi, ketika dipikir, bukankah disini Reynaldhi yang tidak mampu melupakan hal itu seumur hidupnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
De Todo"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...