Siang hari Reynaldhi seperti sudah menjelang petang, sebab hujan deras membasahi kota Jakarta beberapa hari terakhir. Reynaldhi sempat mengusap-usap bajunya yang basah akibat hujan tadi. Remaja itu masih berada di kursi tunggu sampai Ardhan atau Ayahnya datang kemari menemani kakaknya. Sebab, Reynaldhi tau, Evelyn tidak akan mau ia temani.
Bibir Reynaldhi dibasahi sedikit, dingin mulai menusuk sampai tulangnya. Tundukannya berubah menjadi tegak, ketika menangkap sebuah suara dari arah kanan. Suara laki-laki itu terdengar begitu tegas, mengatakan, "Pasien bernama Evelyn Aramintha? Bagaimana ya, sus?"
"Bapak suaminya?" tanya perawat itu.
Ardhan mengangguk pasti, kemudian perawat itu mengatakan langsung saja bicara dengan seorang dokter yang juga baru saja keluar dari lift tidak jauh dari sana. Dokter tersebut mengatakan, "Ibu Evelyn harus melahirkan hari ini, Pak. Secara caesar."
Ardhan mengernyit, "Tapi bukannya, masih dua minggu ...."
"Betul, Pak. Tapi Ibu Evelyn sudah mengalami kontraksi hebat sejak tadi, tapi bayinya masih dalam posisi sungsang, kami tidak mau membahayakan bayinya."
Ardhan mengusap wajahnya kasar, "Lakukan yang terbaik untuk istri saya, dok."
Dokter pun beranjak dari hadapan Ardhan, bersamaan dengan perawat itu. Namun, sebelum itiu si perawat sempat memberitahu bahwa seorang remaja yang membawa Evelyn sampai ke rumah sakit. Ardhan menangkap siapa yaang dimaksud perawat itu, maniknya menatap intens pada remaja di kursi tunggu.
"Reynaldhi ...."
Dengan beribu tulus, Reynaldhi tersenyum sambil berdiri di hadapan Ardhan. Remaja ini sudah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat membantu sang kakak tadi. Tubuhnya basah kuyup, punggung tangannya yang juga belum berhenti mengeluarkan darah. Reynaldhi sudah berharap sesuatu yang berharga dari Ardhan, seperti ucapan terima kasih?
Plak!
Wajah Reynaldhi tertoleh karena tamparan yang diberikan Ardhan. Sudut bibirnya berdarah, sebab pukulan Ardhan bukanlah hal yang biasa saja. Bahkan, pukulan Andhika saja kalah dengan milik Ardhan hari ini. "Mas!" protes Reynaldhi.
"Kenapa, Dhi? Kenapa kamu harus muncul di hadapan istri saya ...? Kenapa kamu malah bahayain anak saya lagi, Reynaldhi!"
"Naldhi yang bawa Kak Eve kesini, Mas!" sanggah Reynaldhi membela diri.
Ardhan tidak peduli, pria itu malah memukul lengan Reynaldhi dengan payung yang dibawanya. Tidak hanya sekali, Ardhan memukul Reynaldhi berkali-kali. Memaki anak itu dengan kalimat menyakitkan yang tidak pernah Reynaldhi sangka akan keluar dari mulut Ardhan untuk dirinya.
"Kamu perusak! Kamu harusnya sadar! Kehadiran kamu membuat orang lain stress! Eve ... sudah minta kamu untuk pergi menjauh darinya! Kenapa sekarang kamu malah mengacak-acak rencana kami! Reynaldhi ... ini yang saya takutkan sejak ada kehadiran kamu."
Bugh!
"Ardhan, cukup!" Pukulan Ardhan terhenti, ketika seseorang menahan payung yang akan dibuatnya untuk menciptakan pelampiasan.
Wanita yang datang itu langsung menggenggam tangan Reynaldhi dan berdiri di hadapan remaja itu. Tatapannya marah, beliau tidak suka ada yang memukuli anaknya sendiri. "Kalau kamu mau mukul anak saya lagi, kamu hadapi saya dulu."
Ardhan tersenyum terpaksa, "Maaf Ibu Citra, urusan saya hanya dengan anak ini. Dia sudah membuat istri saya harus melahirkan lebih cepat dari perkiraan!"
"Kamu aparat negara kan? Kenapa tidak tau terima kasih? Tangan anak saya sudah dingin, bajunya basah habis kehujanan! Dia membawa istri kamu selamat sampai di rumah sakit, terus seenaknya kamu malah pukulin dia pake payung kayak gitu! Nggak punya hati kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Random"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...