Part 2

3.5K 381 14
                                    

Tak terasa, seminggu berlalu. Namun Tissa masih belum bisa terbiasa dengan tempat ini. Segala aturan dan kebiasaan yang harus bisa ia ikuti benar-benar membuatnya semakin tidak betah. Ia bahkan tidak pernah terlihat tersenyum ketika teman sekelasnya mengajaknya berkenalan apalagi berbincang layaknya teman.

Syifa, teman sekamar Tissa, hampir setiap hari mengajak Tissa bermain. Ia selalu mengajaknya melakukan kegiatan apapun itu. Ntah itu ke perpustakaan untuk membaca, mencuci baju bersama, melipat kain, menghafal Al-Qur'an, tetapi satupun tak ada yang Tissa iya-kan. Ia malah merasa jengkel dengan kehadiran Syifa yang menurutnya terlalu annoying.

"Tissa, lihat deh!" Syifa berlari kecil menghampiri Tissa yang tengah duduk di pinggir kasur sedang melipat pakaiannya. Ikut duduk di sampingnya.

"Umi ngasih kita kue! Kata Umi, kamu suka banget sama kue cokelat, jadi dibeliin biar kamu semangat lagi!" Dengan senyuman manis Syifa mengeluarkan sekotak kue dan membukakannya untuk Tissa. Ia sangat berharap Tissa mau menerimanya.

"Gue gak suka cokelat."

Ucapan singkat namun mampu membuat senyum Syifa perlahan memudar. Syifa menurunkan tangannya dari hadapan Tissa. "Tapi, kata Umi kamu suka banget sama cok-"

"Umi itu bukan nyokap gue, jadi jangan sok tau." potong Tissa.

"Tapi Umi tau kamu suka cokelat juga dari Ibu kamu."  Syifa sedikit membela.

"Bisa gak sih gak usah ribet? Kalo lo mau, makan aja, buat lo aja, gua gak mau." Tissa menekankan. Ia memang sangat jengkel dengan perempuan ini.

"Tapi Umi bilang ini buat kam-"

"Jangan sampe gue lempar!" Bentakan Tissa cukup membuat mata Syifa berkaca-kaca. Syifa terpaku sejenak.

Dengan gerakan terburu-buru, Syifa kembali memasukkan kue cokelat itu ke dalam plastik. Ia terkekeh getir. "Mungkin kamu lagi gak pengen makan ini, yaudah aku balikin ke Umi, ya, buat disimpan dulu."

"Aku ke rumah Umi dulu, ya, Assalamualaikum." ucapnya kemudian bangkit meninggalkan Tissa sendirian. Tissa tidak merasa bersalah sedikit pun. Justru merasa lega akhirnya hama di kamarnya itu pergi.

ʕ⁠´⁠•⁠ᴥ⁠•⁠'⁠ʔ

Tengah malam. Kini Tissa bersiap untuk melakukan aksinya. Malam ini ia akan mencoba kabur. Waktu yang sangat dinantikannya akhirnya tiba. Ia sudah mensiasati tempat ini. Siapa, di mana, dan kapan. Ia sudah tahu siapa yang berjaga, di mana lokasi yang jauh dari pandangan, dan kapan waktu penjaga lengah.

Dengan membawa tas berisi barang pribadi dan pakaian yang sudah ia susun siang tadi, ia berjalan perlahan menuju tembok yang sudah ditargetkan untuk dipanjat. Lokasi ini sangat strategis untuk keluar dari wilayah pesantren. Tempatnya berada di belakang gudang.

Di sini terdapat banyak kursi dan meja rusak maupun kayu-kayu lain yang entah dari mana asalnya, yang tentu dapat membantu melancarkan rencana Tissa malam ini. Dengan perlahan, ia menyusun patahan meja dan kursi itu agar mampu menahan tubuhnya ketika dinaiki.

Tissa sedikit kesulitan karena gelap, tapi untungnya cahaya bulan membantunya dengan menerangi. Setelah fondasi kayu itu selesai, ia langsung menaikinya. Satu tingkat, dua tingkat terlampaui. Pelan tapi pasti. Balok kayu dan papan dari meja-meja dan kursi-kursi itu mampu menahan bobot tubuh Tissa meski tak sedikit yang patah dan mengeluarkan suara patahan yang lumayan nyaring.

Tissa mendesis setiap kali fondasi yang ia buat ini perlahan hancur dan berjatuhan. Mendengar suara patahan itu tentu membuatnya takut ketahuan. Sedikit lagi Tissa akan sampai di puncaknya.

"Hei!"

Dan yang ditakutkan pun terjadi. Suara bariton pria terdengar dari bawah sana. Tissa memejamkan matanya, takut yang di bawah sana adalah satpam atau siapapun yang akan memarahinya habis-habisan, karena ia tahu betapa ketatnya pesantren ini.

"Turun kamu!"

Teriakan kedua. Jantung Tissa semakin berdegup kencang. Ia belum berani berbalik badan. Sekilas ia tebersit ide gila. Bagaimana kalau ia lanjutkan saja aksinya? Toh, pria di bawah sana pasti tidak akan mampu mengejarnya pikirnya. Dan ia pun melakukannya.

"Kalau kamu berani naik satu langkah lagi, saya bakalan bikin kamu jatuh dari sana." Ucapan yang tenang namun mematikan. Tissa sontak menghentikan aksinya.

Turun sekarang!" Suaranya semakin meninggi.

Tissa memberanikan diri untuk menyahut, memberikan alasan yang terlintas di kepalanya. "Saya gak berani turun, Pak!"

Pria itu mengerutkan kening. "Saya gak setua itu untuk kamu panggil pak." tepisnya.

Refleks, Tissa membalikkan pandangannya ke belakang. 'Oalah, anjir! Kirain siapa.' ucap Tissa dalam hati. Ia memutar matanya malas.

"Jangan ganggu gue."

Ian sedikit terkejut mendengar ucapan Tissa. Apakah dia mengira bahwa Ian sebaya dengan dirinya? "Saya lebih tua dari kamu, jangan gunakan lo-gue gitu." tegur Ian.

"Bodo', gak peduli juga gue. Lo pergi, gih, jangan ganggu. Diem bae' lo di bawah, jangan banyak bacot." Semenjak tinggal di sini, ada saja orang yang mau mengusiknya. Padahal Tissa tak pernah mengusik siapapun di tempat ini. Bukankah begitu kutipannya? 'Jangan mengusik kalau tak mau diusik'. Tapi mengapa orang-orang terus mengganggunya? Ia merasa dirugikan sepihak.

Suara patahan kayu terdengar sangat nyaring, disusul dengan jatuhnya Tissa dari sana. Tissa berteriak sekilas karena terkejut. Untungnya dia belum sampai ke puncak tembok, kalau iya, bisa saja kakinya patah.

Ian segera menghampiri Tissa. "Kamu gak apa-apa?" Ada raut khawatir di wajahnya. Ia ingin membantu Tissa, tetapi selagi Tissa sanggup sendiri, ia tidak harus membantunya untuk menghindari bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Ia bahkan baru menyadari bahwa ternyata gadis ini adalah Tissa setelah melihat wajahnya. Patutlah suaranya terasa asing di telinga Ian.

Tissa meringis. "Menurut lo? Bukannya bantuin malah banyak tanya."  Ia melirik Ian sinis. Ian tak ingin menanggapi.

Tissa terlihat hendak menggulung celana legging di balik roknya untuk melihat bagian kakinya yang terasa sakit, apakah berdarah atau tidak. Ian menyadari hal itu.

"Kita ke rumah Umi aja, jangan dibuka di sini." titah Ian sedikit mengalihkan pandanganya dari Tissa.

Tissa mengerutkan keningnya. "Gak, ah, orang niat kabur malah disuruh balik." 'Ah, anjirlah, keceplosan gua!'  Tissa menggigit bibir menyadari kesilapannya.

"Kamu mau kabur?" tanya Ian dengan tatapan curiga.

Tissa hanya diam. Ia memegangi betisnya yang terasa nyeri.

"Kalau saya tanya kamu jawab." ucap Ian dengan penekanan. Berusaha terlihat tegas di hadapan Tissa.

"Berisik lo, anjing, kaki gue sakit, tolol!" tatapan Tissa malah terlihat lebih tegas dari Ian. Ia marah, mungkin karena kakinya memang terasa sakit.

"Lo bisa baca kondisi gak sih? Kaki gua sakit dan lo malah banyak tanya, lo goblok apa gimana?"

Sejujurnya emosi Ian sudah di ujung tanduk. Perempuan ini memang seperti tidak diajarkan sopan santun. Ucapannya kasar sekali, tidak cocok menggambarkan sebagaimana baiknya seorang santri.

Daripada menanggapi Tissa dan takut emosinya akan semakin meluap, ia pergi meninggalkannya. "Saya akan panggil Umi, kamu tunggu di situ, jangan ke mana-mana." titah Ian kemudian pergi meninggalkan Tissa yang masih dengan raut masamnya.

...

First published on July 2021.

Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang