"Assalamu'alaikum." ucap Tissa.
"Wa'alaikumsalam. Eh, kamu udah pulang. Kok gak kabarin Bunda?" tanya Bunda.
Tissa langsung jatuh ke pelukan Bundanya dan menangis. Bunda yang kaget, langsung mengelus pundak putrinya.
"Ayo, duduk dulu." ucap Bunda seraya menggiring Tissa ke sofa.
"Kamu kenapa?" tanya Bunda cemas.
Bukannya menjawab, tangis Tissa semakin menjadi.
"Cerita sama Bunda." ujar Bunda.
Tissa melepaskan pelukkannya.
"Tissa kecewa Bunda, hati Tissa sakit." ujar Tissa seraya mengusap pipinya.
"Dari awal Bunda udah bilang sama kamu, jangan berharap lebih sama manusia. Ekspetasi kamu tentang Reza udah tinggi banget, eh, ternyata kamu langsung di banting gitu aja sama harapan kamu sendiri." tegur Bunda.
"Tapi dia duluan yang ngasih harapan Bunda." ujar Tissa.
"Reza juga manusia, ia hanya ingin mengutarakan perasaannya yang dulu. Reza kan gak tau kalo kamu nungguin dia sampe 6 tahun lamanya. Bunda rasa dia juga udah lupa pernah bilang gitu ke kamu." ucap Bunda.
Tissa membaringkan tubuhnya.
"Tissa muak sama laki - laki, Bund." ujar Tissa.
"Lah kenapa? Gak semua laki - laki tuh kayak gitu." ucap Bunda mengingatkan.
"Tissa gak mau jatuh cinta lagi. Sakit Bund, sakit." ujar Tissa menepuk - nepuk dadanya.
"Sekarang aja kamu bilang gitu, nanti kalo liat cogan di kampus langsung klepek - klepek." ujar Bunda terkekeh."Apaan sih, Bunda." ucap Tissa kesal.
Bunda terkekeh kecil.
"Udah jangan nangis lagi, lebay banget."
Tissa melirik sinis ke arah Bundanya.
"Yaudah deh Bund, Tissa mau beres - beres tas dulu." ujar Tissa seraya bangkit.
"Jangan di berantakin kamarnya." tegur Bunda.
"Iya - iya."
Saat masuk ke kamar, Tissa teringat dengan ponselnya yang padam. Ia langsung merogoh saku roknya mengambil ponsel dan mengecasnya.
Setelah 15 menit Tissa membereskan pakaiannya, Tissa mengambil dan menghidupkan ponselnya untuk melihat notif apa yang ada.
10 panggilan tak terjawab dari Mas Ian.
"Ada apa Mas Ian nelpon?" gumam Tissa bertanya - tanya.
Tissa langsung menelpon kembali Mas Ian dan langsung diangkat.
"Assalamu'alaikum, ada apa ya Mas nelpon aku?" tanya Tissa.
"Wa'alaikumsalam, kamu dimana? Saya nelpon kok gak di angkat? Kemarin saya nungguin kamu sampe 2 jam di cafe, kamunya gak datang - datang." ujar Ian kesal.
"Iya Mas, maaf. Tissa baru pulang dari London hari ini." ujar Tissa.
"Ngapain kamu ke London?"
"Gabut." jawab Tissa malas.
"Sekaya itu kamu sampe gabutnya ke luar negeri?" tanya Ian datar.
"Bercanda kali Mas."
"Terus kamu ngapain ke London?" tanya Ian lagi.
"Kepo banget sih, udah besok Tissa ceritain di cafe sepulang ngampus." ujar Tissa.
"Bener?" tanya Ian memastikan.
"Iya, janji."
"Kalo bohong, kamu traktir saya ya?"
"Hmm, yaudah Tissa mau bobok. Capek! Assalamu'alaikum." ujar Tissa.
"Wa'alaikumsalam." jawab Ian.
. . .Keesokan harinya, sesuai janji, Tissa menemui Ian di cafe. Saat memasuki cafe, Tissa melihat Ian sedang memainkan ponselnya sambil meminum es jeruk.
"Cepet banget nyampenya?" tanya Tissa.
"Assalamualaikum." ucap Ian melirik ke arah Tissa.
Tissa terkekeh.
"Wa'alaikumsalam." ucap Tissa tersenyum.
"Saya lagi gak sibuk, jadi kesini aja." ujar Ian.
Tissa mengangguk seraya duduk di depan Ian.
"Saya udah pesenin buat kamu." ucap Ian memberikan segelas boba.
"Makasih, tau aja Tissa suka boba." ujar Tissa tersenyum dan menyeruput bobanya.
"Yaudah lanjut." ucap Ian.
"Lanjut apa?"
"Cerita kemarin."
"Tissa cerita apa kemarin?" tanya Tissa bingung.
"Kamu ngapain di London?" tanya Ian.
"Nguli."
"Yang bener ngapa jawabnya."
"Tissa males nyeritainnya. sakit!" ujar Tissa.
"Siapa yang nyakitin kamu?" tanya Ian khawatir."Hiks..sedih aku tuh Mas, ditinggal nikah." jawab Tissa merengek.
"Ditinggal nikah? Sama siapa?"
"Reza Darmawangsa, si Atheis bejat! munafik! penipu! php! Arrggh!!" ujar Tissa seraya memukul - mukul mejanya kesal.
"Tenang dulu, Reza alumni Santri di pesantren kita kan?" tanya Ian memastikan.
Tissa mengangguk.
Tissa pun menceritakan kesialan yang dialaminya 3 hari lalu.
"Begitulah ceritanya, Tissa gak nyangka banget dia bakalan jadi Atheis Mas, Dan lebih parahnya lagi, dia gak segan - segan mengakui kalo dirinya Atheis. Kan bejat banget Mas!" ujar Tissa kesal.
Ian menghela nafas.
"Mengecewakan banget kan Mas? Ish, Tissa aja gak nyangka. Udah Tissa ditinggal nikah, dia nyium ceweknya depan Tissa, truss ngaku Atheis lagi, Astagfirullah." lanjutnya.
"Udah, itu kan urusan dia, gak usah kamu urusin lagi. Dia udah punya calon Istri, jangan diganggu." ujar Ian.
Tissa melirik sinis ke arah Ian.
"Oke Tissa terima ditinggal nikah sama Reza, tapi yang bikin kecewa tuh, dia menghilangkan kepercayaannya demi ceweknya yang muka menor itu." ujar Tissa menepuk - nepuk mejanya.
"Udah ah, malu di lihatin orang." tegur Ian.
Tissa memanyunkan bibirnya cemberut. Ian tersenyum melihat ekspresi Tissa.
"Yaudah, nikahnya sama Saya aja." ujar Ian terkekeh.
"Okeh."
"Beneran?" tanya Ian.
"Masnya serius gak?" tanya Tissa balik.
"Serius dong." jawab Ian mantap.
"Tapi, Tissa males berurusan sama cowok lagi. Nanti sakit hati lagi, kecewa lagi, nangis lagi, Capek ah!" ujar Tissa.
"Alasan, bilang aja kamu mau tapi malu." ujar Ian.
"Ini beneran gak sih?" tanya Ian grogi.
Tissa mengangkat kedua bahunya.
"Dunia ini hanya candaan, yang serius itu Akhirat. Jadi gak usah baperan Mas." ujar Tissa.
"Pernikahan itu urusan serius yang dibawa sampai akhirat." ujar Ian.
Tissa mengangguk.
"Tapi kalo ngomong ama cowok nyebelin kayak Mas, gak boleh serius - serius. Nanti jadi baperkan gak asik."
Tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]
Teen Fiction"Saya mohon, satu hari aja, jangan buat masalah!" pinta Ian. "Emang gue pernah buat masalah?" Tissa yang biasanya hidup bebas, kini harus terkekang dengan aturan pesantren. Ditambah lagi dengan pengawal amatiran yang diperintahkan untuk mengawasi...