Sesampainya di rumah sakit, Ian langsung menggendong Tissa ke IGD. Saat Tissa memasuki ruangan, keluarganya tidak diizinkan masuk. Bunda Tissa menangis khawatir. Syifa yang berada disampingnya, langsung memeluknya.Lima belas menit kemudian, Dokter keluar dari ruangan. Ian langsung menanyakan keadaan Tissa.
"Gimana, Dok?"
"Pasien baik - baik saja, keningnya hanya lecet disebabkan gesekan. Pasien pingsan dikarenakan syok yang dialaminya. Paling tidak sebentar lagi dia akan bangun." jelas Bu Dokter.
"Alhamdulillah, Ya Allah." ucap mereka bergiliran.
"Sudah boleh masuk, Dok?" tanya Ian.
"Iya, silahkan."
Ian dan yang lainnya langsung masuk ke dalam ruangan. Terlihat Tissa terbaring dengan plester yang menempel di kepalannya.
"Saat bangun nanti, tolong jangan tanyakan dia tentang hal yang berat ya?" kata Bu Dokter.
"Iya Dok." jawab Bunda Tissa.
"Saya permisi."
Tissa terbangun. Perlahan, matanya mulai terbuka.
"Bunda?" ucap Tissa.
"Kamu gak apa - apa kan, Nak? Ada yang sakit?" tanya Bunda.
Tissa menunjuk ke keningnya. Bunda tersenyum.
"Mas Ian ada disini juga?"
"Emangnya siapa lagi yang bisa gendong kamu kesini?" tanya Ian.
Tissa tersenyum.
"Maaf ngerepotin kalian semua, Tissa jadi gak enak." ujar Tissa seraya duduk.
"Gak apa - apa Tissa, kamu sih pake acara naik kursi, lantai kamar mandi kan licin." tegur Bunda.
"Tissa gak nyampe Bund, derita orang pendek." ujar Tissa.
Bunda terkekeh.
"Yaudah, kita langsung pulang aja yuk." ucap Tissa.
"Kamu yakin udah gak apa - apa?" tanya Bunda memastikan.
Tissa mengangguk.
"Yaudah yuk."
Setelah membayar biaya, mereka langsung pulang ke rumah Tissa.
Sesampainya dirumah, Syifa pamit untuk pulang karena sudah di telpon oleh suaminya.
"Mas Ian." ucap Tissa yang seraya duduk di sofa.
Ian berdehem.
"Beliin bakso dong."
"Tadi kan Mas udah masak, ngapain beli lagi?" ujar Ian.
"Tapi Tissa pengennya Bakso. Tissa kan lagi sakit, kalo misalkan permintaannya gak diturutin ntar sembuhnya lama." rengek Tissa.
"Teori dari mana kamu?"
"Hasil pemikiran sendiri dong." jawab Tissa terkekeh.
"Sayang makanannya kalo gak dimakan." ujar Ian.
"Jadi Mas lebih sayang sama makanan dari pada sama Tissa? Iya?"
"Ya gak gitu, kan mubazir jadinya."
"Pokoknya Tissa mau bakso, titik!" ujar Tissa.
"Enggak, pokoknya Mas gak mau beliin." ujar Ian tak mau kalah.
"Tissa ngambek."
"Biarin."
"Tuh kan!"
"Apa?"
"Iihh! gak peka banget sih!"
"Apaan sih?"
"Tau ah!"
Ian menaikkan alisnya heran.
Melihat Tissa tak kunjung bicara, Ian pergi ke dapur.
"Mas!"
"Apa?"
"Mas beneran gak mau beliin? Beneran?"
Ian mengangguk.
"OKEH!! LIAT AJA, TISSA GAK BAKALAN NGOMONG SAMA MAS, GAK AKAN TEMENAN SAMA MAS, DAN MAS TISSA PECAT JADI KAKAK!!"
"Lah kok gitu?"
"Makannya beliin!" rengek Tissa kesal.
Ian menghela nafas.
"Iya udah, Mas beliin."
"Nah, gitu dong." ujar Tissa.
"Tapi bo'ong, Biarin aja kamu dimarahin sama Bunda karena mubazir." ujar Ian.
Tiba - tiba Bunda Tissa datang membawa senampan makanan berkuah yang dimasak Ian tadi pagi.
"Kalian kenapa sih berisik banget? Suaranya kedengaran sampe dapur." ujar Bunda.
"Ini Bund, Ian minta dikawinin sama Tissa." ujar Tissa seraya terkekeh.
"Apa - apaan?!" tanya Ian.
"Dia mau minta restu sama Bunda tapi malu katanya,"
"Jangan percaya Bund," ujar Ian.
"Emang, Nak Ian gak mau nikah sama Tissa?" tanya Bunda.
Tissa tersenyum.
Ian terdiam dengan pertanyaan Bunda.
"Gimana, mau gak?" tanya Tissa tersenyum semringah.
Ian masih diam dan hanya tersenyum kecut.
"Ibu mertua udah nanyain looh." lanjut Tissa.
"Ian belom kepikiran buat nikah." ujar Ian.
Bunda tersenyum.
"Yahh, Mas Ian gak asik!" ujar Tissa cemberut.
"Udah ah, Bunda kan cuma bercanda, gak usah canggung gitu." ujar Bunda.
Ian tersenyum.
"Yaudah, Tissa, dimakan ya? Ini buatan Ian loh, enak banget!" ujar Bunda.
Tissa mencicipi gulai yang dimasak oleh Ian.
"Ini mah lebih enak dari bakso." ujar Tissa seraya memakannya dengan lahap.
Ian tersenyum.
"Alhamdulillah deh, kalo Bunda sama Tissa suka." ucap Ian.
"Saya pamit pulang ya," ujar Ian.
"Cepet banget? Gak mau makan dulu? Masa kamu yang masak kamu yang gak makan." ujar Bunda.
"Gak apa - apa kok Bund, buat Tissa sama Bunda aja. Nanti saya bisa masak lagi di rumah."
"Yaudah kamu hati - hati ya,"
"Iya Bund, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." jawab Bunda.
"Tissa!" panggil Bunda melihat Tissa yang sedang makan dengan lahapnya. Tissa berdehem.
"Pamitan dulu sama Ian." titah Bunda.
"Hati - hati ya Mas, Bye!" ucap Tissa melambaikan tangannya.
Ian tersenyum.
❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]
Ficção Adolescente"Saya mohon, satu hari aja, jangan buat masalah!" pinta Ian. "Emang gue pernah buat masalah?" Tissa yang biasanya hidup bebas, kini harus terkekang dengan aturan pesantren. Ditambah lagi dengan pengawal amatiran yang diperintahkan untuk mengawasi...