Di teras rumah Umi, Tissa termenung dengan mata sembab. Umi tengah menelpon Ibunya. Ia berusaha menyimak dengan mendengarkan samar-samar percakapan antara Ibunya dan Umi. Tissa sendiri yang meminta Umi melakukannya. Ia memohon untuk dipulangkan.
"Bunda kamu mau bicara sama kamu," ujar Umi melirik Tissa. Tissa mengangguk. Ia menerima suguhan ponsel Umi.
"Halo, Bun.."
"Assalamualaikum, Tissa, gimana kabarnya?" tanya sang ibu dengan nada ceria.
"Tissa baik, Bun."
"Alhamdulillah, kalau baik, kenapa minta pulang?"
"Tissa mau pulang, Bun. Tissa mau sama Bunda aja, Tissa mau balik ke sekolah Tissa yang dulu. Tissa gak suka di sini, Bun, temen-temen di sini jahat sama Tissa, gak ada yang ngertiin Tissa, Bun.." Tissa mengadukan semuanya. Tangisnya kembali pecah.
"Iya, sayang, iya. Bunda paham, kok. Bunda paham kalau awalnya pasti sulit untuk terbiasa. Tapi kan kamu juga belum lama di sana. Kasih lingkungan kamu kesempatan untuk membuat kamu nyaman." Ibunya mencoba memberikan pandangan positif.
"Tapi Tissa gak sanggup, Bun! Tissa mau pulang, tolong bujuk Ayah buat jemput Tissa. Tissa mohon.." ia berucap dengan lirih.
Ibunya tersenyum simpul. "Sebentar lagi, ya, Nak? Bunda yakin sebentar lagi kamu bakalan betah di sana, kamu kan anak baik." Ada perasaan tak tega mendengar suara anak perempuannya memohon seperti itu.
"Bunda sama Ayah kenapa jahat banget sama Tissa? Tissa salah apa, Bun? Tissa janji gak akan bolos lagi di sekolah. Tissa janji bakalan ngurangin waktu buat ngelakuin hobi dan bakalan lebih rajin belajar, Tissa janji, Bun.." Tissa masih berusaha membujuk Ibunya. Namun nihil, hingga di akhir percakapan hanya ucapan penyemangat yang ia dapatkan.
Telpon ditutup setelah Umi berpamitan dengan Ibunya. Umi memandang kasihan pada Tissa. Ia sendiri juga kebingungan menangani Tissa yang sangat moody-an. Ia memilih duduk di sebelah Tissa dan menenangkannya.
"Apa yang sebenarnya bikin Tissa gak nyaman sama pesantren ini? Coba cerita ke Umi." Umi mulai membuka percakapan.
Tissa terdiam sejenak kemudian menjawab. "Banyak Umi,"
"Oh, ya? Apa aja? Umi pengen dengar." Umi terlihat bersemangat karena respon Tissa.
"Santri-santrinya, Ustadz-Ustadzahnya, pelajarannya, PR-nya, aturan-aturannya, dan yang paling ngeselin, tuh, Ian, Umi. Tissa gak suka sama Ian. Dia selalu muncul dan ngeganggu Tissa. Asal Tissa ada masalah, pasti Ian ikut campur. Bahkan baru tadi subuh Ian ngejatuhin permen yang ada di tangan Tissa, padahal Tissa gak ngelakuin apa-apa, tapi tetap aja dia ngira Tissa ngelakuin yang aneh-aneh."
Umi mengangguk. "Itu karena Umi yang nyuruh Ian buat jagain kamu,"
Tissa sedikit terkejut. "Kenapa gitu, Umi?"
"Karena Umi sayang sama kamu, kamu kan anak sahabatnya Umi. Umi gak mau kamu kenapa-kenapa kayak mungkin dijahili sama santri-santriwati lain, atau kamu kebingungan mencari tempat, atau kamu butuh bantuan tapi bingung mau ke mana, atau kamu lagi ada masalah, Ian bakalan selalu ada buat kamu." ujar Umi.
Tissa tersenyum kecut. "Gak perlu, Umi, perihal itu Tissa bisa sendiri, kok, perlakukan aja Tissa kayak santri lainnya. Tissa jadi gak enak sama Umi, Ian juga gak perlu sampai sebegitunya, Mi. Tissa bisa sendiri, kok. Tissa juga punya temen sekamar, jadi Tissa gak bakal kebingungan."
"Hmm, gitu, ya? Kalau kamu maunya gitu, gak apa-apa, nanti Umi bakalan minta ke Ian buat jangan terlalu ngurusin kamu, biar dia lebih fokus ke tugas lainnya saja. Tapi perihal lingkungan pesantren dan aturan-aturannya, Umi yakin kamu akan terbiasa, itu gak seketat yang kamu kira, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]
Teen Fiction"Saya mohon, satu hari aja, jangan buat masalah!" pinta Ian. "Emang gue pernah buat masalah?" Tissa yang biasanya hidup bebas, kini harus terkekang dengan aturan pesantren. Ditambah lagi dengan pengawal amatiran yang diperintahkan untuk mengawasi...