Di teras rumah, seorang wanita paruh baya baru saja memutuskan panggilan melalui ponselnya. Suami serta anak sahabat lamanya akan tiba sebentar lagi. "Ian!" ia memanggil anaknya.
"Ya, Umi, kenapa?" tanya sang anak. Ia menyahut sambil berjalan mendekati sang ibu.
"Kamu 'kan sekarang udah jadi pemilik pesantren, jadi kamu harus mencoba mendidik santri dan santriwanti yang ada di sini."
"Iya Umi, Ian tau. Kenapa emangnya umi? Kok tiba-tiba?" ia memilih duduk di dekat uminya. Sedikit kaget mendengar ucapan umi yang membahas hal tersebut.
"Jadi begini, sebentar lagi sahabat umi akan tiba, dia mau mondokin anaknya di sini." ujar Uminya tersenyum lembut seraya menjelaskan. Ian mengangguk.
"Tapi, ada satu hal yang mau umi minta dari kamu." Umi menatap Ian lekat.
"Apa, Mi?" Ian penasaran. Tatapan uminya terlihat serius. Membuat pikiran Ian menerka-nerka. Suasana menjadi tegang dikarenakan jeda ucapan Umi.
"Kamu jagain dia, ya?" ucap sang ibunda tanpa mengalihkan pandanganya.
"Oh, kirain apa." Ian yang awalnya duduk dengan tegak, kini bersandar. Karena terlalu serius menanggapi sikap uminya, ia jadi berprasangka yang tidak-tidak.
Melihat raut dan sikap Ian yang tiba-tiba berubah, kening Umi mengerut. "Emang kamu kira apa?"
"Wajah umi serius banget gitu, kirain bakal ngomongin hal serius." ujar Ian kemudian tersenyum tipis.
"Ini memang hal serius, Ian. Kamu harus bisa jagain dia. Dia anak satu-satunya sahabat umi. Umi gak mau kecewain mereka." Umi risau karena ia takut Ian malah menganggapnya menjadi hal yang sepele.
Ian kembali menegakkan duduknya dan menggenggam tangan uminya. "Kalau urusan menjaga dan mendidik, itukan sudah menjadi tanggung jawab Ian. Umi jangan khawatir, Ian tau tanggung jawab Ian, mi. Tanpa umi minta pun, Ian pasti ngejalanin wasiat Abi." Ia tersenyum di akhir kata. Umi balas menggenggam tangan Ian erat dan ikut tersenyum.
"Ngomong-ngomong, anaknya perempuan atau laki - laki, Mi?" tanya Ian.
"Perempuan." jawab Uminya.
"Oh, kalau anak perempuan, mah, seharusnya gampang diaturnya." Ian kembali menyandarkan punggungnya.
"Iya, seharusnya.."
Ian mengerucutkan keningnya. Uminya memang sulit ditebak. "Seharusnya.. Kenapa emangnya, Umi? Dari tadi bikin penasaran aja."
"Kamu bakalan tau, kok, nanti." Umi terkekeh kemudian bangkit dan meninggalkan Ian dengan wajah kebingungannya. Ian memandang punggung ibunya menjauh.
Ian menggaruk tengkuknya. Ntah itu karena gatal atau karena dia bingung. Sepertinya Uminya itu terlalu khawatir atau memang berniat mengistimewakan anak sahabatnya.
Ia berniat menyusul sang ibu untuk kembali menanyakan lebih lanjut mengenai hal ini, namun ia mendengar suara ketukan pintu beserta salam.
"Wa'alaikumussalam." Ian menyahut seraya membukakan pintu. Seorang laki-laki dan seorang gadis berdiri di sebelahnya dengan raut wajah yang terlihat masam. Masih terlihat lembab matanya seperti habis menangis.
"Kamu pasti Ian, kan? Kenalin, saya Aji temennya Umi kamu." Aji menjulurkan tangannya, Ian segera menjabatnya dan mengangguk membenarkan ucapan Aji. Mereka saling melemparkan senyum ramah.
"Dan ini Tissa, anak saya." Aji memegang pundak Tissa, menyadarkan Tissa dari lamunannya.
"Oh, halo. Aku Tissa." Ia menjulurkan tangannya sekaligus memberikan senyuman palsu terbaik yang dia bisa.
Ian tersenyum. Mengatupkan kedua tangannya.
Senyum Tissa perlahan memahit. Mood-nya semakin hancur. Ia menurunkan tangannya. Rasa malu dan kesal langsung menguasai dirinya. Ia semakin ingin pergi dari sini. First impression yang sangat menyebalkan.
"Wah, kalian udah tiba. Assalamualaikum, Aji." Umi datang menyusul Ian dari belakang. Ia tersenyum ke arah Aji kemudian Tissa. "Kok tamunya gak disuruh masuk sih, Ian? Ayo, masuk-masuk." Umi dengan ramah melayani tamunya.
"Kalian mau minum apa? Udah pada makan belum?" tanya Umi setelah mempersilakan mereka duduk.
Aji menggeleng "Makasih, Nis, tapi aku mau langsung ke bandara, mau jemput Zahra di sana." ujar Aji yang segan untuk mengutarakan niatnya pergi lebih awal untuk menjemput istrinya.
"Oh iya, Zahra udah bilang juga tadi." Umi teringat dengan obrolannya melalui telepon.
"Iya, maaf, ya. Aku gak bisa lama, Zahra udah nunggu lama katanya." ujarnya semakin tak enak.
Umi tersenyum. "Gak apa-apa, aku paham, kok."
Aji tersenyum kemudian mengalihkan pandanganya ke Tissa. Terlihat Tissa masih diam dengan lamunannya. "Tissa, kamu ayah tinggal di sini, ya."
Tissa masih diam. Ia benar-benar larut dalam lamunan. Memainkan jari dengan rok panjang putih yang ia kenakan. Tampilannya kini sangat sesuai dengan anak pesantren. Mengenakan jilbab serta ciput, kaos panjang dan rok panjang menjuntai hingga semata kaki. Sangat berbeda dengan busana yang biasa ia pakai.
"Tissa," Aji memegang pundaknya. "Jangan melamun terus, kamu gak sendirian, kok. Nanti kamu bakalan punya banyak temen di sini. Gak kalah banyak sama temen-temen kamu di sekolah dulu." Aji menyemangati.
Tissa hanya mengangguk. Ia tidak ingin ayahnya berbicara lebih banyak lagi. Ia sangat kesal padanya.
Aji menghela napas. "Ya sudah, aku titip Tissa, ya, Nis. Sekali lagi maaf, ya, karena gak bisa lama." Ia bangkit dari duduknya dan menatap Nisa, sahabat istrinya, dengan perasaan segan. Ian dan Umi ikut berdiri.
"Iya, gak apa-apa." Umi tersenyum hangat. Ia tentu sangat paham dengan situasi Aji saat ini.
Aji ikut tersenyum "Kalau ada apa-apa, atau kalau Tissa nakal dan gak bisa diatur, kamu bisa langsung kabarin aku, ya, Nis." Aji terkekeh. Berkata sambil melirik Tissa yang terlihat masih menunduk. Oh, Ayahnya benar-benar memperlakukan Tissa seperti anak kecil. Tissa semakin kesal.
"Enggak, Tissa 'kan anak baik. Ya, kan, Tissa?" Umi tersenyum melirik Tissa. Dan dibalas dengan senyuman seadanya.
"Ian juga, om titip Tissa, ya?"
Tidak ingin bereaksi berlebihan. Ian hanya tersenyum dan mengangguk. Aji ikut tersenyum dan mengelus kepala anak perempuannya.
"Aku berangkat," Aji berjalan menuju pintu disusul oleh Ian dan Uminya menghantarkan.
Setelah sekitar lima menit, mereka kembali dan terlihat Tissa masih setia di posisi duduknya. Umi menghampiri sementara Ian memilih kembali ke kamarnya.
"Tissa, kamu jangan sedih, ya. Insya Allah, kamu bakalan betah di sini. Umi bakalan bantuin kamu untuk bisa beradaptasi dengan tempat ini, jadi kamu jangan khawatir." Umi mengelus punggung Tissa. Ia paham dengan perasaan Tissa. Zahra, Ibu Tissa, sudah menjelaskan semuanya tentang bagaimana kehidupan Tissa biasanya. Tentu butuh waktu untuk anak sebebas dia beradaptasi dengan lingkungan seperti ini.
"Ayo, Umi antarkan kamu ke kamar kamu. Sekalian kita keliling-keliling, biar kamu gak sedih lagi, yuk?" Dengan senyuman hangat ia membujuk Tissa.
Tissa tersenyum simpul dan mengangguk, menuruti kemauan orang yang akan menjadi orang tuanya di tempat ini. Mau tidak mau untuk sementara Tissa akan mengikuti aturan dan kemauan Umi, hingga ia memiliki kesempatan untuk pergi dari sini. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa pergi.
...
First published on July 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]
Teen Fiction"Saya mohon, satu hari aja, jangan buat masalah!" pinta Ian. "Emang gue pernah buat masalah?" Tissa yang biasanya hidup bebas, kini harus terkekang dengan aturan pesantren. Ditambah lagi dengan pengawal amatiran yang diperintahkan untuk mengawasi...