Minggu pagi yang suram. Awan tak henti-hentinya menangis. Hujan sudah mengguyur kota sedari malam. Kini jam sudah menunjukkan pukul empat pagi namun hujan masih terus membasahi bumi. Daun-daun dari tanaman-tanaman yang ada di pekarangan pesantren membantu meneteskan air hujan ke rerumputan.
Halaman yang didominasi oleh tanah berumput itu menjadi tempat tergenangnya air. Air hujan membuat wadahnya sendiri di sana. Aroma petrikor dapat dengan mudah dihirup walau dari dalam ruangan.
"Hari ini kita sholatnya di kamar aja, becek banget di luar katanya." Syifa menutup pintu setelah mendengar arahan dari Ustadzah yang berkeliling memberitahu bahwa mereka tidak bisa sholat di mushola karena jalan menuju musholla sedang tidak kondusif.
"Hm, lagian gue juga lagi gak sholat." ujar Tissa yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajahnya dengan handuk.
Syifa mengangguk, "Ya, sudah. Aku sholat dulu, ya." Ia gantian masuk ke kamar mandi yang baru saja digunakan Tissa.
Tissa melirik jendela kamar. Di luar masih gelap. Ditambah awan abu-abu yang membuat matahari sulit menampakkan diri. Ia membuka jendela, ingin merasakan hawa dingin itu secara langsung.
Hujannya deras namun tak menusuk. Suara rintiknya masih bisa dinikmati. Cahaya bulan mengintip malu-malu di balik awan. Pemandangan dan hawa yang menenangkan.
Tissa melangkahkan kakinya ke arah pintu. Ia berniat keluar. Tetesan air hujan merayunya untuk bertemu. Perlahan Tissa berjalan keluar asrama, memperhatikan apa yang dia pijak.
Dinginnya membuat bulu kuduk meremang walau Tissa sudah mengenakan kardigan. Ia menghentikan langkahnya ketika tiba di tepi taman. Taman itu pasti becek sekali, pikirnya. Ia duduk di salah satu bangku yang tidak basah dan masih berada di bawah atap kantin.
"Kamu ngapain di sini?" Itu Reza. Ia baru kembali dari musholla. Para santri diminta untuk tetap sholat subuh di sana, sementara santriwati di kamar.
"Berteduh," jawab Tissa asal dengan sekilas melirik Reza.
"Jangan di luar, dingin, kamu balik, gih." pinta Reza yang sebenarnya agak sedikit heran kenapa Tissa bisa berada di sini.
"Gue mau di sini aja, damai." ujar Tissa tenang. Ia sedang tidak ingin marah-marah kali ini.
"Nanti kamu bisa masuk angin. Di dalam aja dingin, apalagi di sini." Reza menurunkan payungnya dan ikut berteduh dengan berdiri di bawah atap yang melindungi Tissa dari hujan.
Tissa tersenyum tipis. "Lo sendiri ngapain ke sini?"
"Karena ngeliat kamu ada di sini," jawab Reza polos.
Tissa tersenyum simpul. Ia merasa dejavu dengan momen klise ini.
"Kok senyum-senyum? Ada yang salah, kah?" tanya Reza yang tak paham.
"Lo ngingetin gue sama crush gue." ujarnya. "Dulu dia pernah nyamperin gue kayak begini, tapi bedanya, dia mau minjem duit." Tissa terkekeh di akhir kalimatnya sendiri.
Reza ikut terkekeh kecil. "Ya, kebetulan banget kalau begitu." ia melirik Tissa dengan tatapan canggung. "Kamu balik, ya, sekarang ke asrama, ntar kamu dicariin."
"Enggak, gue gak mau."
"Nanti dimarahin Ustadzah, loh."
"Biarin."
"Nanti dimarahin Mas Ian, loh."
"Gak takut."
"Nanti dimarahin Umi, loh!"
"Gak bakalan."
Reza mengerutkan keningnya. Bingung dengan sikap Tissa. Bagaimana bisa dia sesepele itu pada semua pengurus pesantren ini.
"Gimana kalau aku kasih permen? Aku punya permen loli yang enak, nih." Reza mengeluarkan setangkai permen dari saku jaketnya. Padahal rencananya ia akan memberikannya pada anak Ibu kantin, tapi sepertinya tidak ada salahnya menawarkannya pada Tissa, siapa tahu dengan ini dia mau kembali.
Kali ini Tissa tersenyum hingga memperlihatkan giginya. Lesung di pipinya pun ikut terukir. "Lo kira gue anak kecil."
Reza malah tersenyum canggung, hendak menarik kembali tangannya. Namun dengan segera Tissa mengambil permen itu dari tangannya. "Siapa bilang gue gak mau."
Tissa menatap permen berwarna pink dan putih itu. Rasa susu stroberi. "Makasih, ya." ucapnya sedikit malu-malu. Reza tersenyum. "Sama-sama."
"Ya, sudah. Aku pergi duluan, kayaknya udah ditungguin sama temen, assalamualaikum." Reza pergi lebih dulu karena ia tersadar kalau ia sudah terlalu lama berduaan dengan Tissa. Takut seseorang melihat dan menjadi fitnah nantinya.
Tak lama setelah Reza pergi, Tissa bangkit dari duduknya. Berjalan perlahan kembali ke asrama. Namun saat di perjalanan, ia terpeleset namun tidak sampai terjatuh. Tissa mengaduh.
Ternyata rintihan Tissa menarik atensi Ian yang baru kembali dari musholla. Mungkin baru selesai mengaji. Sontak memanggil Tissa. Sang empunya nama menengok ke arah suara, kemudian Ian menghampirinya.
"Kamu mau coba kabur lagi? Gak kapok kamu?" tanya Ian tanpa basa-basi.
"Apaan, sih, lo? Jangan asal nuduh," Tissa menatapnya dengan sinis. Keningnya mengerut.
"Itu apa di tangan kamu?" Ian berniat merampas sesuatu yang ada di genggaman Tissa. Ia sudah sangat was-was dengan gadis ini. Saat tangan Ian menggapai apa yang ada di genggaman Tissa, benda itu malah jatuh ke lumpur.
Tissa membelalak. "What the fuck, Ian? What is wrong with you?!" Tissa langsung mengambil kembali permen itu, tapi setelah dilihat, sepertinya itu sudah tak bisa dimakan.
"It's just a candy! Kenapa lo harus sekejam ini, sih, sama gue?!" Tissa meninggikan suaranya. Ian sebenarnya tidak berniat merampas seperti itu, dia hanya refleks. Ia mengira benda itu adalah sebuah kunci atau apapun untuk mempermudah Tissa kabur.
"Ma-maaf,"
"Fuck off, Ian!" ucap Tissa seraya melemparkan permen itu pada Ian. Terlempar tepat ke dada Ian hingga membuat baju putihnya kotor.
"Emang manusia iblis lo, anjing! Dasar bajingan gak berhati!" bentak Tissa kemudian mendorong Ian hingga terhuyung ke belakang.
Tissa tidak menangis, tapi marah. Dia mood swing. Yang tadinya bisa tertawa dengan Reza, namun tidak saat berhadapan dengan Ian.
Perkelahian mereka menjadi tontonan rombongan santri yang lewat. Ian sama sekali tak membalas ucapan dan perbuatan yang dilakukan Tissa. Dia sadar bahwa dia yang salah.
"Liat aja, gue bakal bikin hidup lo menderita sampe lo sendiri yang minta ke Umi buat ngeluarin gue dari tempat ini, lo pegang omongan gue!" ujar Tissa yang kemudian tanpa diduga-duga melemparkan segenggam lumpur ke wajah Ian.
Semua orang yang melihat itu tentu terkejut. Tissa sangat keterlaluan. Akhirnya Ustadzah melereai keributan itu. Ian membersihkan wajahnya dengan air hujan sementara Tissa dipaksa untuk kembali ke kamarnya, walau sebenarnya Tissa masih ingin memaki Ian.
...
First published on July 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]
Teen Fiction"Saya mohon, satu hari aja, jangan buat masalah!" pinta Ian. "Emang gue pernah buat masalah?" Tissa yang biasanya hidup bebas, kini harus terkekang dengan aturan pesantren. Ditambah lagi dengan pengawal amatiran yang diperintahkan untuk mengawasi...