"GUA LAPORIN KE UMI KALIAN BERDUA!"Syifa dan Ian tersentak kaget, sontak melirik kearah pemilik suara.
Tissa mendekati mereka.
"Bagus - bagus." ucap Tissa sambil bertepuk tangan.
"Ngapain kalian berduaan disini? dasar gak tau malu, sok sok'an ngelarang orang, eh taunya dia sendiri yang ngelakuin, ck.. ck.. ck.." ujar Tissa seraya menggelengkan kepalanya.
"Dan lo Syifa, lo tuh bener - bener munafik ya, ish najis gua lama - lama." lanjut Tissa.
"Kamu salah paham Tissa, kami gak ngapa - ngapain." tukas Ian.
"Iya sumpah Tissa, kami nggak ngelakuin apa - apa." sambung Syifa.
"Ah bo'ong, gua kagak percaya, gua tetep bakal laporin biar lu berdua biar kapok." ujar Tissa seraya pergi.
"Tissa!" teriak Ian menyusul Tissa.
Tissa tidak menggubris panggilan itu, Ia tetap berjalan menuju rumah Umi.
"Assalam'ualaikum, Umi." ucap Tissa.
"Iya Wa'alaikumsalam, Eh Tissa, ada apa Nak?" tanya Umi yang sedang duduk di teras.
Ian yang baru sampai disusul dengan Syifa, ngos - ngosan mengejar Tissa.
"Loh, kalian kenapa?" tanya Umi lagi.
"Mereka berdua berzina, Umi." jelas Tissa.
"Astagfirullahalazdim," ucap Umi seraya menutup mulutnya. Umi tidak percaya Ian melakukan hal sehina itu.
"Enggak Umi, itu gak bener, Tissa cuma salah paham." ujar Ian.
"Ngapain kalian berdua di pojok pesantren berduaan? kan gak pantes." tanya Tissa seraya melipat tangannya di dada.
Ian pun menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
"Maling ngaku penjara penuh, mana ada penjahat ngaku." ucap Tissa.
"Saya ini bukan penjahat." ujar Ian. Ian sudah hampir emosi dengan tuduhan Tissa.
"Tapi berzina sama yang bukan mahram itu salah satu tindak kejahatan di pesantren ini." jelas Tissa.
"Sudah sudah!" ucap Umi seraya memegang kepalanya yang mulai pusing.
"Umi kenapa?" tanya Ian.
"Umi mau kedalam dulu." ujar Umi seraya masuk dan menguci pintu.
"Umi, Ian minta maaf Umi."
'Mampus lo' batin Tissa seraya terkekeh.
Syifa sedari tadi hanya diam dan menahan tangisnya, ia merasa bersalah membuat Ian terkena masalah.
Tissa menghampiri Syifa.
"Gua ngelakuin ini buat mewujudkannya mimpi lo, toh bentar lagi lo bakalan dinikahin sama si Ian." ucap Tissa terkekeh.
"Udah ah, gua mau cabut, tugas gua udah selesai." ucap Tissa seraya pergi.
Brakk..
Ian menendang kursi kayu yang ada didepan rumahnya. Syifa tersentak kaget.
"Astagfirullah." ucap Ian sambil menjambak rambutnya.
Syifa yang melihat situasi seperti ini membuatnya semakin merasa tak enak dengan Ian dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kamar asramanya.
Disisi lain, Tissa sedang sibuk menyantap makanan yang ada didepannya.
"Ah kenyang, makasi ya Mbok, ini duitnya Tissa taro di atas meja, Assalamu'alaikum." ucap Tissa seraya keluar dari kantin.
"Iya, Wa'alaikumsalam, Non." jawab Si mbok.
Saat hendak keluar kantin, Tissa dicegat oleh Ian.
"Kamu dipanggil Umi sekarang juga." ucap Ian dan langsung pergi.
"Ngapa tu orang? badmood kali yak." ucap Tissa seraya mengikuti Ian.
Sesampainya dirumah Umi, Tissa melihat Bundanya yang sedang mengobrol dengan Umi.
Tissa kegirangan dan langsung berlari mendekati Bundanya.
"Bundaa, Tissa kangen setengah mati sama Bunda, Bunda kok lama banget kesininya?" tanya Tissa seraya memeluk Bundanya.
Tissa menunggu pertanyaannya dijawab namun Tissa hanya mendengar isakan dari Bundanya.
"Loh, Bunda kok nangis?" tanya Tissa mulai panik.
"Ayah kamu meninggal dunia." ujar Bunda Tissa.
"Hahaha, candaan Bunda gak asik ah." ucap Tissa seraya tersenyum kecut.
Tangis Bunda Tissa semakin menjadi.
"Bunda jangan gitu dong, Bunda bercanda kan? iya kan?" tanya Tissa dengan air yang mulai berlinang dimatanya. Umi langsung memeluk Tissa. Tangis Tissa sudah tak terbendung.
"Kita do'ain yang terbaik untuk Ayah kamu ya, Nak." ucap Umi seraya mengelus pundak Tissa. Tangis Tissa semakin menjadi.
"Udah sekarang kita ke jakarta, Ian kamu yang bawa mobilnya ya." titah Umi.
"Iya, Umi." jawab Ian.
Sesampainya di jakarta, mereka langsung menuju kamar mayat, menemui jasad Ayah Tissa untuk dibawa pulang.
Setelah administrasi selesai, jasad langsung dibawa menuju rumah keluarga Tissa.
Sepanjang perjalanan Tissa hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi. Tissa yang biasanya selalu ceria, sekarang hanya diam bagai tubuh tak bernyawa. Bahkan isakannya sudah tak terdengar. Air matanya sudah mengering.
Saat membaca do'a untuk Sang Ayah, Tissa hanya diam tak bersuara sama sekali. Matanya tak teralihkan dari wajah Sang Ayah.
Saat hendak dikuburkan, Tissa tidak diizinkan ikut oleh Bundanya, Bundanya takut Tissa akan tambah stres. Tidak ada protes sama sekali dari Tissa.
Sekarang Tissa sedang duduk dibalkon kamarnya. Ia menatap kosong ke depan. Ia sudah seperti orang yang sakit jiwa.
Klik the star for me.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah Bobrok! ✔ [TAHAP REVISI]
Novela Juvenil"Saya mohon, satu hari aja, jangan buat masalah!" pinta Ian. "Emang gue pernah buat masalah?" Tissa yang biasanya hidup bebas, kini harus terkekang dengan aturan pesantren. Ditambah lagi dengan pengawal amatiran yang diperintahkan untuk mengawasi...