•Mungkin, ketika aku dipukul itu adalah cara tunjuk bunda mencintaiku•
••••|Before you leave|••••
"Bunda, kenapa kakak pakai alat itu?"
Naya terdiam saat mendengar sang adik bertanya tentang alat yang terpasang di telinganya, alat bantu dengar dan alat itu yang membantu Naya mendengar ucapan orang disekitarnya.
"Kakak kamu itu orang bodoh makannya harus pakai itu." Nara mengucapkan dengan nada datar dan mengusap rambut Indira, adik perempuan Naya dan anak kedua Nara dan Julian.
"Berarti Indi anak pintar ya, Bunda? Makannya gak pakai alat itu?"
"Iya dong anak bunda kan yang pintar cuma kamu aja." Nara makin menyindir Naya yang tengah memakan roti miliknya.
Naya menyesali, harusnya tidak memasang alat ini saat bersama ibunya, alat itu terpasang hanya untuk mendengarkan ucapan menyakitkan dari ibunya saja. Hati Naya berdenyut nyeri mendengar ucapan sang Bunda, tapi tak apa Naya tidak ingin mengambil hati apapun itu Nara tetaplah bundanya, bunda terbaik bagi Naya.
"Bhu nha Nha yha pel ghi she kholah yha..." |Bunda Naya pergi sekolah, ya| Naya menggerakkan tubuhnya untuk berbicara tapi Nara tak memperdulikannya.
"Kakak ngomongnya gak jelas kayak anak kecil!"
Naya hanya tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman, namun Nara menepis tangan Naya dan tak mau menyambut uluran itu. Naya tersenyum lagi lalu pergi meninggalkan rumah untuk berjalan ke sekolah.
Meski dengan keterbatasan ini Naya bersekolah di sekolah Negeri, kata ayahnya 'Untuk apa Naya sekolah di sekolah khusus, buang-buang uang saja. Lagian setelah lulus dia hanya akan jadi beban keluarga.'
Hidup Naya terasa sunyi, bukan hanya dirinya yang bisu, tapi sekelilingnya pun begitu. Tak ada teman, dan tak ada Keluarga yang menyapa paginya. Bolehkah Naya iri pada adiknya yang selalu mendapatkan kecupan bunda pagi hari dan setelah ia sekolah? Pasti itu menyenangkan.
Sejak kecil Naya sudah dituntut untuk mandiri, pergi sekolah sendiri tak pernah ada yang mau mengantarnya saja sampai depan pintu gerbang sekolah saja tak ada yang mau mengantarnya, Naya sedih? Tentu, tapi kesedihan Naya tak pernah ada artinya, layaknya daun yang jatuh tertampar angin, dan tersapu oleh angin pula. Tentang Naya yang jatuh karena ucapan orang disekitarnya, dan tersapu rasa sakit dari orangtuanya pula.
'Apa alat ini terpasang untuk mendengar ucapan menyakitkan saja?' Naya membatin menatap jalanan yang cukup ramai, Kota Tangerang memang padat kala pagi hari, banyak orang yang pergi bekerja atau bersekolah dan menyebabkan macet kala pagi hari. Untungnya Naya memilih berjalan kaki meski lumayan jauh Naya senang dengan hal itu.
Naya menatap lalu lalang, melihat anak SMA lainnya yang diantar sekolah oleh ayahnya atau ibunya, Naya iri. Kapan keberadaannya dianggap membahagiakan?
20 menit berjalan kaki akhirnya Naya sampai di depan gerbang sekolah. Naya menyukai belajar, tapi Naya tak menyukai hal yang terjadi di sekolahnya. Dari awal sudah Naya sadari indahnya masa SMA itu tak pernah ia rasakan, yang ada hanya Bullyan dan ledekan saja. Tapi, Naya harus bertahan dan terus belajar agar bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya.
"Eh selamat pagi bisu."
Naya hanya diam dan berjalan ke tempat duduknya yang banyak sekali sampah yang terurai di tempatnya, ini hari Selasa saatnya Naya piket kelas dan selalu saja begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before you leave [END]
Teen Fiction❝Sebelum kamu pergi cuma luka yang kamu kasih, tapi saat kamu hendak pergi cintaku yang kuberi.❞ Katanya anak pertama adalah anak yang paling dinantikan oleh semua pasangan yang baru menikah. Mereka hanya ingin memiliki anak, tapi tidak mau menerima...