•Semakin hari, semakin aku sakit melihatmu begini•
••••|Before you leave|••••
Cinta memang kadang mengajarkan kehilangan tanpa tahu kebenarannya, tentang rasa sakit yang dibiarkan tertanam dan disiram air mata membuat luka itu terlihat tidak akan punah. Kebenciannya terhadap orang lain, yang ia tumpahkan pada anaknya sendiri tentu saja ia lakukan dengan sadar.
"Jeano bisa dengar Mama, nak?"
Raut kekhawatiran yang mati-matian Jeano hindari ternyata masih saja terjadi, Naya dan Rina sama-sama menangis karenanya. Sejak subuh tadi Jeano menggigil hebat sampai sekarang jam sudah mau menunjukkan pukul 10 pagi. Karena khawatir Naya menghubungi Ayahnya, namun yang datang malah ibunya Jeano.
Telinga Jeano berdengung suara ibunya hanya bisa ia dengar sekilas, mulutnya bergetar karena dingin dan matanya sayup melihat Naya menangis di dekat pintu.
"Sa—sakit..." Lirih Jeano sambil meremas selimutnya.
Rina menyentuh kening putranya, air mata tidak sanggup lagi ditahan.
"Di mana yang sakit sayang, bilang sama mama..." Rina mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika Jeano terlihat sangat menggigil.
Naya tidak sanggup melihat Jeano ia lebih memilih pergi dari sana, menangis sendirian di depan kamar Jeano. Tangannya berulang kali memukul dadanya sendiri, Naya cukup terkejut saat pagi tadi setelah ia melaksanakan shalat subuh Jeano berteriak kencang hingga membuatnya tergesa masuk ke kamarnya dan menemukan Jeano tengah meringkuk di atas sajadahnya.
Sedih dan haru, Naya rasakan dalam waktu yang bersamaan. Terharu karena pertama kalinya bagi Naya melihat Jeano sholat dan sedih karena kondisinya sekarang ini.
"Bakar Jeano, Ma..." Jeano sudah tidak kuat, tulangnya seakan beku sekarang.
Rina memberanikan diri memeluk Jeano untuk yang pertama kali baginya, mengusap rambut putranya untuk yang pertama pula. Sudahkah Rina tenggelam terlalu jauh, membenci darah dagingnya sendiri dalam waktu yang tidak singkat, menyiksanya dengan ketidak pedulian serta kata-katanya yang cukup menyakitkan.
"Ma... Jeano takut mati," ucap Jeano melemah, begitu pula dengan Rina yang tidak kuat menahan tangisnya.
"Kalo kamu takut mati, bertahan dan jangan mati, sayang." Rina mencium seluruh wajah Jeano mengusap air mata putranya.
Hujan di luar sana semakin deras, petir dan raungan Jeano terdengar bersamaan. Menyedihkan dan menyakitkan sekali, doanya malam itu terkabulkan, di mana Naya meminta keadilan untuk Jeano merasakan rasa sakit yang sama serta membuat Jeano menyesali perbuatannya.
Sekarang inilah waktunya Jeano yang merasakan sakit.
'Meski dendam dan benci hamba belum sepenuhnya hilang, tapi ini cukup menyakitkan. Ya Allah sembuhkanlah...' Naya berdoa dalam hati membuka kedua tangannya lalu meng-Amin kan doanya tersebut.
"Ma, bakar Jeano..."
Kalimat itu berulang-ulang Naya dengar, rasanya tidak tahan sekali rintihan itu juga membuat dadanya sesak. Naya bangun dan berlari masuk ke kamar Jeano dan ikut memeluk tubuh yang tetap menggigil itu.
"Nay? Apa gue bakalan mati sekarang?" Pertanyaan itu semakin membuat Naya memeluk Jeano, gelengan kepala keras Naya menunjukkan bahwa ia tidak akan merelakan dan melepaskan Jeano sebelum cita-cita sederhananya itu terwujud.
"Kha mhu gha mha ahu lhi hat anh nha ahk kha mhu lha hir? She kha rha ngh dhi ha lha ghi phe lhu huk kha mhu. Bhe ehr tha han..." |Kamu gak mau liat anak kamu lahir? Sekarang dia lagi peluk kamu, bertahan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before you leave [END]
Teen Fiction❝Sebelum kamu pergi cuma luka yang kamu kasih, tapi saat kamu hendak pergi cintaku yang kuberi.❞ Katanya anak pertama adalah anak yang paling dinantikan oleh semua pasangan yang baru menikah. Mereka hanya ingin memiliki anak, tapi tidak mau menerima...