•Aku diam karena aku sadar, meraih surga Bunda itu menyakitkan•
••••|Before you leave|••••
Naya menatap iri dua orang yang tengah bercanda di ruang keluarga, saling memeluk dan mencium. Bagaimana Nara membanggakan Indira yang mendapatkan lomba menggambar di sekolahnya.
"Anak kesayangan bunda emang keren banget," ucap Nara mencium pipi Indira dengan senyuman yang begitu indah.
Naya ikut menarik senyumannya saat sang Bunda tersenyum, Naya tahu senyuman itu bukan untuknya melainkan untuk sang adik tercintanya. Jika ditanya Naya membenci Indira atau tidak, jawabannya adalah tidak. Indira sempurna, wajar jika semua orang menyukainya.
"Mama kakak bodoh pulang!" Indira menunjuk Naya yang berdiri di depan pintu.
Nara tidak memperdulikan keberadaan Naya seolah ia adalah debu yang tak terlihat. Sebenarnya Naya ingin bercerita banyak hal pada Nara, tentang yang terjadi setiap harinya. Sampai hari itu tiba, dimana sang bunda memberikan peluang untuk Naya berbicara dengan isyaratnya Naya akan tetap menunggu.
Sejahat apapun harimau tidak akan memakan anaknya sendiri, begitu juga pikiran Naya, sejahat apapun bundanya pasti akan luluh suatu saat nanti.
Naya berjalan pelan melewati Nara yang terus mengusap rambut Indira dengan tulus, dan sayang yang begitu besar.
"Bunda bolehkah Naya berada di posisi Indira? Naya mau seperti itu bunda. Naya ingin."
Layaknya sebuah menulis pada buku harian, ucapan yang Naya katakan dalam hati mungkin sudah tak tertampung lagi.
"INDIRA AYAH PULANG! LIHAT AYAH BAWA BANYAK MAKANAN DAN MAINAN BUAT KAMU."
Naya menghentikan niatnya masuk ke kamar saat mendengar sang ayah berteriak riang dengan membawa dua kantong plastik besar berisikan makanan kesukaan Indira. Naya tersenyum melihat itu.
"Hidup mereka akan sangat menyenangkan kalau gak ada aku."
"Indi teman-teman Ayah bilang kalau kamu itu cantik dan berbakat. Kamu harus pintar terus sayang." Julian memeluk tubuh putri bungsunya, melupakan putri sulung yang menangis tanpa suara dan tanpa mereka ketahui.
"Bunda juga gak nyangka kamu hebat banget Indi, gambar kamu bagus banget, gak kayak kakak kamu yang bisu dan gak berguna itu."
Naya menahan Isak tangis melepaskan alat pendengar yang terpasang, tidak kuat mendengar hinaan yang menyakiti hatinya.
Tidak ada satu orang yang meminta dilahirkan tidak sempurna, tidak ada seorang pun yang ingin dibuang dalam keluarganya. Naya hanya menjalankan takdir dan berusaha berdiri di lingkungan yang menyakitkan ini.
Naya masuk ke dalam kamarnya mengunci pintu perlahan. Naya memukul dadanya yang begitu sesak, ini menyakitkan, sungguh.
"Ayah, bunda ... kapan punya waktu untukku? Apa aku membuat kalian terbebani? Ayah, kamu adalah laki-laki pertama yang aku cintai, tapi kamu juga laki-laki pertama yang melukaiku."
Naya terduduk lemas di belakang pintu, menangis dalam ruangan yang terlalu sempit untuk dibilang kamar.
"Bunda bukannya kamu adalah seorang ibu? Bunda, apa saat aku merasakan sakit kamu bisa merasakannya juga? Bunda aku tidak suka dipukul, kalau bunda tahu bagaimana orang-orang di sekolah memperlakukan aku seperti anjing, apa bunda akan memarahi mereka, atau bunda berterimakasih pada mereka karena sudah memukulku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Before you leave [END]
Fiksi Remaja❝Sebelum kamu pergi cuma luka yang kamu kasih, tapi saat kamu hendak pergi cintaku yang kuberi.❞ Katanya anak pertama adalah anak yang paling dinantikan oleh semua pasangan yang baru menikah. Mereka hanya ingin memiliki anak, tapi tidak mau menerima...