22. Mimpi dan Realita

815 172 26
                                    

"Artunis....tunis...."

Sakit. Luka. Darah.

"...tidak tertolong... abu... makam..."

Dingin. Gelap. 

.

.

.

Suara riak air. 

Katanya, setelah meninggalkan dunia, seseorang jadi satu dengan langit dan bumi. Artunis selalu berpikir itu artinya seperti langit dan bumi, tidak berindra, berakal, atau berkehendak. Tapi...suara riak air. Apa dirinya menjadi satu dengan aliran sungai? Bukankah ungkapan "jadi satu dengan langit dan bumi" hanyalah sebatas ungkapan?

"Bangun.... Buka matamu...."

Tidak bisa. Rasanya seperti tubuhnya melayang dalam kehampaan, dan Artunis merasa nyaman. Untuk apa membuka matanya kalau sekarang dia merasa nyaman tanpa beban, hangat, dan tenang? Apa yang menunggunya bila dia membuka mata?

"Semua....apapun....Buka matamu..."

Dan Artunis kembali terhanyut dalam kegelapan. Berkali-kali. Dan setiap kali  dia merasakan sesuatu, selalu ada suara lirih yang bicara tanpa makna, setidaknya dia tidak memahami arti kata-kata itu. Tapi...

"Buka matamu..."

Tanpa henti, dua kata itu terdengar lirih di sela-sela suara riak air, hingga Artunis dengan enggan mencoba.

Artunis mengerjapkan matanya. Dirinya bersandar santai pada sebuah batang pohon di tepi aliran sungai kecil. Dari sana-kah suara riak air yang dia dengar? Artunis melihat sekelilingnya. Berkas sinar matahari masuk dari sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi. Di mana dia berada? Dia menunduk mengamati pakaiannya. Kaftan dan tunik berwarna coklat dan hijau, tanpa pernak-pernik apa pun. Apa yang sedang dia lakukan dengan pakaian sesederhana ini? 

"Sudah bangun?" 

Artunis menoleh ke sumber suara kecil yang sekarang terduduk manis sambil memeluk pahanya yang terlipat di atas rerumputan. Sepasang mata bulat menatapnya balik. Kedua mata itu...rasanya familiar. Tapi Artunis yakin dirinya tidak mengenal banyak anak kecil berusia di bawah lima tahun. 

Anak itu dengan susah payah menggeser kakinya hingga akhirnya dia berhasil duduk manis di pangkuan Artunis, tangannya meremas erat kaftan coklat di tubuhnya. Bingung mau berbuat apa, Artunis hanya terdiam mematung sembari anak itu mengoceh tentang hal-hal tidak penting yang bahkan tidak Artunis mengerti. 

"Si-"

Siapa?

Artunis tidak sempat meneruskan pertanyaannya, karena anak itu seketika berlari ke arah sungai, mengejar tupai kecil yang sedang minum di tepiannya. 

"Sudah bangun?" Tepukan lembut di bahunya disertai dengan pertanyaan yang juga baru saja didengarnya beberapa saat lalu. Hanya saja kali ini yang mengucapkannya adalah suara yang lebih berat — suara seorang pria dewasa. 

Rambut hitam... Mata hitam... Pakaian putih...

Menno Karan.

"Kukira kamu tidak akan bangun lagi." Menno mengambil tempat duduk di sisinya, melingkarkan tangannya di bahu Artunis, dan menariknya hingga kepalanya bersandar di bahu lebar pria itu. Kenapa suara Menno terdengar begitu sedih, seperti orang yang nyaris putus asa, seolah mereka sudah terpisah beribu tahun? 

Suara riak air. 

"Siapa anak itu?" Artunis menoleh ke arah Menno, pipinya menikmati lembutnya pakaian sang kekasih. 

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang