30. Reuni di Ibu Kota

538 69 34
                                    

Tanpa emosi, Linior membasuh kedua pergelangan tangannya bergantian di sebuah baskom tanah liat. Rambut oranye-nya berombak menjuntai ke bantalan kursinya, terus hingga ke lantai. Sesekali dia mengeringkan tangannya dengan handuk, tapi tak lama kemudian kembali memendamkan keduanya di dalam baskom, berdesis pelan menahan nyeri.

“Aku tidak bisa menyembuhkan tanganmu kalau kamu tidak jelaskan apa penyebabnya,” suara Josse terdengar dari pintu. Anak muda itu masih mengenakan pakaian perjalanannya, lengkap dengan jubah putih yang sangat dia gemari, tapi dia juga membawa perban, dan mungkin sebotol obat yang bisa meringankan rasa sakitnya.

Linior memberi isyarat agar dia mendekat. Sang Abadi mengangkat alis, lalu menyodorkan kedua tangannya.

“Aku hanya memintamu memberi kedua tanganku ini penahan nyeri, atau apapun yang memberikan sensasi dingin. Bukan menyembuhkan.” Linior menarik nafas panjang sebelum meneruskan, “Tidak semua rasa sakit bisa sembuh, Josse.”

Josse mengambil tempat duduk di sampingnya, dan mulai membuka gulungan perban, menuangkan ramuan entah apa secukupnya.

“Bukannya Para Abadi makhluk sempurna? TIdak pernah merasakan derita atau sakit?”

Linior membalas dengan senyuman dingin, tanpa kata-kata.

Josse mengompres kedua lengan Linior dengan ramuan itu, sembari dahinya berkerut heran. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ruam atau memar di tangan Linior. Meski sang Abadi bilang tangannya panas bagai terbakar, kedua lengannya tidak memerah sama sekali.

“Tidak usah terlalu dipikirkan,” ujar Linior melihat ekspresi pemuda di sebelahnya. “Anggap saja rahasia Para Abadi. Makhluk-makhluk fana sepertimu tidak perlu ambil pusing.”

Josse mendengus, menyambar perban yang telah dia buka dan mulai membalut lengan Linior. Obat yang digunakannya memakai campuran berbagai daun dan rempah yang berfungsi mengurangi rasa sakit dan mendinginkan luka. Entah seberapa efektif ramuan semacam itu untuk seorang Abadi.

“Rahasia Para Abadi.” ucapnya mengulangi kata-kata Linior. “Bodohnya aku yang dulu menganggap kalian sebagai makhluk-makhluk yang sakral dan terhormat. Siapa sangka Para Abadi tidak ada bedanya dengan orang-orang seperti Jesse dan Hallstein.“

Linior tersenyum lebar menahan tawa.

“Terhormat? Mungkin. Sakral? Kamu terlalu banyak membaca buku cerita, Anak Muda.”

Bukan hanya buku cerita, legenda di seantero dunia semuanya menggambarkan Para Abadi sebagai para penjaga rahasia dan pelindung dunia. Konon, menghilangnya Para Abadi berarti akhir dunia dan sirnanya semua kehidupan. Seorang raja pun tidak akan berani bertindak lancang di hadapan Para Abadi. Sejahat dan sekejam apa pun seseorang, tidak mungkin dia berani mengangkat tangannya melawan Para Abadi.

Apa namanya kalau bukan sakral?

Tapi tentu saja, tidak ada buku cerita yang pernah bilang, bahwa seorang Abadi bisa berkomplot dengan pemberontak yang berniat mengambil alih takhta Mirchad atau seorang pedagang kotor yang menyelundupkan senjata, menjual racun, dan menyekap seorang wanita sakit di rumahnya.

“Sekarang aku tahu, baik buku cerita maupun Para Abadi, semuanya tidak bisa dipercaya.”

“Kenapa?” Linior mengangkat alis. “Aku tidak pernah sekali pun berbohong padamu, atau pada orang lain.”

Josse mendengus.

“Aku mengenalmu Linior. Kamu mempermainkan Hallstein seperti boneka dan dia terima-terima saja demi takhta Mirchad. Kamu menggunakan Jesse untuk memaksaku membuat semua ramuan-ramuan itu, yang aku pun tidak mau tahu untuk apa.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang