05. Di Hadapan Para Abadi

1.2K 220 21
                                    

"Panglima!"

Panglima menghampiri Menno dan mengulurkan tangannya, menawari untuk membantunya berdiri. Menno yang baru bangun hanya bengong memandang telapak tangan di depannya.

"Ayo Menno," panggil Panglima memperjelas.

"Sebentar, sebentar," jawab Menno setelah menggelengkan kepala dan memukul-mukul pipinya dengan kedua tangannya. "Aku belum benar-benar bangun ini."

Dengan kembalinya kesadaran Menno, dia sekarang bisa mencerna apa yang Panglima katakan - dan yang tidak dia katakan. Misalnya...

"Kok Panglima sudah pulang? Bukannya katanya besok baru sampai?"

"Aku berkuda dari Nisaya tanpa henti, berganti kuda beberapa kali. Menurutmu?"

"Bagaimana Panglima tahu aku ada di sini?"

Artunis menarik kembali tangannya dan duduk di hadapan Menno. 

"Aku mencarimu di rumah, tapi Neria bilang kamu sedang memeriksa sesuatu di gedung arsip. Apa kamu tidak bisa duduk tenang menungguku pulang?" Sembari bicara, mata Artunis melirik kertas-kertas dan buku-buku yang berserakan di meja. Catatan keluar masuk karavan?

"Oh, ini..," Menno menunjuk barang-barang di depannya. "Aku mendapat kabar dari Stellegrim yang harus aku periksa kesesuaiannya dengan informasi di sini."

Panglima yang biasanya langsung penasaran kali ini hanya mengangguk pelan. Menno merasa ada yang aneh.

"Bagaimana kunjunganmu ke Nisaya, Panglima?"

Panglima berdiri dan memalingkan wajah.

"Tidak baik."

Dari suara Panglima, Menno bisa tahu ada yang tidak beres. Nafas Panglima lebih cepat daripada biasanya, suaranya tidak bertenaga, dan kalau Menno tidak salah dengar, agak bergetar. 

"Ada apa Panglima?" tanya Menno curiga. 

Panglima kembali mengulurkan tangannya pada Menno.

"Aku tidak ingin bicara di sini," jawabnya. 

"Lalu di mana?" 

Artunis yang tidak sabar akhirnya mengambil tangan Menno yang terlipat di meja dan menarik tubuhnya ke arahnya, membuat Menno terpaksa berdiri.

"Ikut saja aku."

Dan begitu saja sang Putra Agung membawa Menno tanpa memedulikan protes pria itu dan komentarnya soal belum sempat membereskan ruang arsip. 

Artunis sama sekali tidak peduli dengan ruang arsip yang berantakan. Toh negara membayar orang untuk membereskan dokumen-dokumennya. Seandainya saja dia bisa membayar orang untuk membereskan hidupnya juga...

***

Semua pengawal di atas tembok kota menegakkan badan saat mendengar suara lantang Panglima. Seperti biasa, perintahnya singkat dan jelas, tidak memberi ruang untuk pertanyaan atau sanggahan.

"Tinggalkan kami. Jangan kembali sampai kupanggil."

Menno menaikkan sebelah alisnya saat Panglima menyodorkan sebotol anggur di hadapannya sebelum membuka botolnya sendiri dan mulai minum.

"Panglima, berapa kali harus kubilang..."

"Anggur bukan solusi," potong Panglima. "Aku tahu."

Menno menghela nafas, meletakkan botol anggur miliknya di tembok, dan menggenggam botol anggur di tangan Panglima, berupaya melepasnya. Hanya dengan melirik sekilas, Panglima tahu Menno tidak akan mengalah soal ini. Dengan enggan Panglima melonggarkan genggamannya, membiarkan Menno menyingkirkan minuman keras itu.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang