07. Dalam Gelapnya Malam

1.1K 199 17
                                    

Menno memacu kudanya, menunjukkan tanda pengenalnya sebagai tamu Putra Agung untuk memasuki kota tanpa pemeriksaan. Rambut hitam dan kaftan putihnya berkibar di bawah sinar bulan purnama, membuat prajurit yang berjaga di atas gerbang mudah mengenalinya dan segera meminta penjaga gerbang kota membuka pintu. 

Beberapa hari yang lalu, segera setelah mendengar bahwa karavan Scato berada di Vasa, Menno segera menyusul Kyros untuk memeriksa karavan itu, mencari informasi tentang identitas J. Hart. Betapa terkejutnya Menno saat tahu bahwa seseorang dengan nama Josse bukan hanya pernah pergi bersama karavan Scato beberapa tahun yang lalu, tapi juga saat itu memang berangkat dari Stellegrim bersama dengan karavan itu. Sayangnya, karena ada urusan mendesak, berpisah dengan mereka sesampainya di Vasa, dan melanjutkan perjalanannya ke Estahr seorang diri. 

Singkatnya, Menno kecolongan. 

Bukan itu saja. Saat ditanya apa urusan Josse ikut dengan karavan mereka, para pedagang itu mengaku tidak tahu menahu. Saat ditanya seperti apa orangnya, mereka bilang dia pendiam dan tidak banyak bicara. Ciri-cirinya? Rambut coklat, berpakaian putih dari atas ke bawah. Menno hanya bisa menyeringai. Sebagian besar koleksi bajunya juga berwarna putih dari atas ke bawah - mana bisa mencari orang hanya dengan petunjuk begitu. Tapi kemudian salah seorang di antara mereka menambahkan, Josse juga mengenakan jubah bertudung berwarna putih. 

Menno hanya bisa mengumpat dalam hati mengingat orang yang tidak sengaja dia tabrak siang itu. Betul-betul sial. Josse lolos walaupun mereka sempat bertabrakan tanpa sengaja. Memang bukan salah Menno, tapi mau tidak mau pria itu tetap kesal. 

Segera setelah mengatur rencana dengan Kyros dan Eurig serta mengemas barang-barangnya, Menno tidak membuang waktu dan langsung berkuda kembali ke Estahr. Sayangnya, secepat apapun kudanya berlari, dia tahu bahwa Josse tidak akan terkejar. Menno hanya bisa berharap bahwa apapun rencana Josse, dia tidak terlambat untuk bertemu dengan pria itu dan mendapat kejelasan.

Melewati gerbang kota Estahr, Menno mengambil jalur tercepat ke kediaman Panglima. Pengawal yang mengenalinya lagi-lagi langsung membuka pintu dan mempersilakannya masuk. Menno turun dari punggung kudanya dan bergegas menuju ruang kerja Panglima, membiarkan orang-orang di gerbang mengurus hewan malang yang sudah pasti kelelahan itu. 

"Panglima!" serunya sambil membuka pintu.

Sekitar 10 orang yang berada di ruangan kontan menoleh ke arah pintu, membuat Menno merasa seperti target panahan di tengah-tengah pertandingan. Raut wajah Panglima tidak berubah saat ia menyatakan bahwa pertemuan sudah selesai, membubarkan para Panglima dan Panglima Muda yang berkumpul di ruangannya. Mereka segera meninggalkan ruangan, beberapa tidak melepaskan pandangan dari Menno yang masih berdiri di depan pintu, menelan ludah. Askar, sebagai orang yang terakhir keluar, memberi isyarat agar Menno masuk, dan menutup pintu di belakangnya sebelum melangkah menuju gerbang.

Menno tadinya membayangkan Panglima akan marah atau kesal saat melihatnya kembali, setidaknya mengomel karena dia pergi begitu lama tanpa berita. Di luar dugaan, Panglima tetap tenang. Dengan langkah-langkah tegap dia kembali ke mejanya, mengerjakan tugas-tugasnya.

"Sudah selesai melarikan diri?" tanyanya tanpa menatap Menno.

"Panglima..," panggil Menno lagi. 

"Hmm?"

"Panglima aku perlu bantuanmu. Ini serius."

Panglima mendongak setelah menyelesaikan kalimat yang sedang ia tulis, berniat menggoda Menno yang tiba-tiba datang malam-malam dan langsung bicara seperti salah seorang prajuritnya saat menemui masalah. Tapi sorot mata Menno yang tajam dan bibirnya yang menipis memberi tahu Artunis bahwa kali ini, Menno tidak main-main.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang