19. Artunis

858 181 35
                                    

Sakit. 

Lelah.

Menno duduk bersandar pada dinding gua, tangan dan kakinya terkekang rantai, tubuhnya lebam di sana sini.

Sesuai ancamannya, Hallstein kembali mengunjunginya tadi subuh, menginterogasinya, mencoba mencari hubungan antara Menno dan Kyros. 

Tentu saja usahanya gagal. 

Bagi Menno, melindungi Kyros sama saja dengan melindungi Meinrad, dengan kata lain, dirinya sendiri, dan juga melindungi Panglima.  

Karena sekarang terlihat jelas bahwa Hallstein berani menggunakan Panglima sebagai alat untuk menyerang Kyros. Menno tidak ingin membayangkan apa yang akan Hallstein lakukan pada Panglima kalau dia tahu bahwa selama ini Meinrad tinggal di rumahnya di Estahr. 

Menno meringis tiba-tiba, setengahnya nyeri karena luka yang dideritanya, setengahnya lagi karena mengingat apa yang terjadi selama 'sesi tanya-jawab'-nya dengan Hallstein. 

"Apa hubunganmu dengan Kyros?" tanya musuh bebuyutannya itu sambil melandaskan pukulan di perut Menno. "Dari pakaianmu, aku tahu kamu orang Mirchad," lanjutnya saat Menno tidak memberikan jawaban apapun selain erangan. Dia menjambak rambut Menno, memaksa agar kedua mata mereka bertatapan. Menno menutup matanya, takut dikenali. Hallstein, mengira sanderanya terlalu lemah untuk menjawab, menghempaskan tubuhnya ke tanah, membuatnya lagi-lagi mengerang kesakitan.

"Kamu tidak akan bisa keluar dari tempat ini sampai kamu bicara," Hallstein menggertak frustrasi, kemudian menambahkan, "setidaknya tidak hidup-hidup."

Menno menggeleng lemah.

Seorang bandit berlari masuk ke gua, lalu membungkuk memberi salam pada Hallstein.

"Kawan-kawan yang mengejar mereka, tidak satu pun kembali," ujarnya berbisik, tapi tidak luput dari pendengaran tajam Menno. 

Hallstein mengerutkan dahi, dan setelah memberikan pukulan perpisahan pada sanderanya, berbalik pergi.

Dengan mata terpejam, Menno memikirkan apa yang terjadi dengan Askar dan Putra Agung Cilik (dan pengawalnya Ram). Bandit yang mengejar mereka 'tidak satu pun kembali'. Kemungkinannya ada di antara Askar dan Ram berhasil menghabisi mereka semua atau para bandit itu tersesat di hutan. Dan Menno tahu, karena para bandit itu jelas tidak seburuk dirinya dalam hal navigasi, kemungkinan kedua mustahil terjadi. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah...

Panglima. 

Satu kata itu membuat ujung-ujung bibir Menno yang lebam naik. 

Panglima Artunis mungkin saat ini sedang menuju ke arahnya, siap meluluh-lantakkan perkemahan para bandit, seperti ancamannya saat Menno terluka di perkemahan pasukan Vasa dulu."Akan kuratakan dengan tanah," ancamnya dulu. Suara dingin Panglima yang dulu membuat tengkuknya merinding saat ini terasa seperti angin sejuk yang membawa harapan. 

"Hey."

Menno, merasakan seseorang menyentuh pundaknya, dengan enggan membuka mata. Samo berjongkok di hadapannya, tangannya memegang semangkuk air. 

"Minum ini dulu," bisiknya. Jemari Menno meraih mangkuk itu dan menenggak isinya hingga tidak bersisa. Dia menyeka bibir dan dagunya dengan lengan bajunya dan menyerahkan kembali mangkuk itu pada Samo.

"Terima kasih," ucapnya tersenyum.

Samo mengangguk dan berdiri hendak pergi. 

"Tunggu," panggil Menno menghentikannya. "Pergilah dari sini. Kembali ke Vasa, ke tempat istrimu," lanjutnya sambil menengadah menatap bandit itu. 

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang