06. Orang Berpakaian Putih

1.2K 205 10
                                    

Askar mengerutkan kening, tidak bisa mengerti apa yang Panglima-nya baru saja katakan. Panglima baru saja memberinya surat kepemilikan rumah dan aset milik...Mazares?...dan menyuruhnya merenovasi rumah itu dan bersiap-siap pindah.

"Maaf Panglima," katanya sambil menunduk memberi hormat. "Saya tidak punya keinginan pindah dari kediaman Panglima."

Artunis menghela nafas. 

"Atau apakah adanya saya di sini merepotkan Panglima?" lanjut anak itu. Ya, bagi Artunis, Askar tetap seorang 'anak', tidak soal berapa usianya.

"Sudah berapa tahun kamu tinggal di sini, Askar?" Panglima mengangkat tangannya sebelum Askar menjawab. "Kamu sama sekali tidak merepotkan, dan aku bukannya ingin mengusirmu secara halus dari rumahku."

Panglima berdiri dan menghampiri Askar, tersenyum tipis.

"Kamu sudah dewasa - seorang Panglima Muda sekarang. Sudah waktunya kamu membangun hidupmu sendiri. Dengan ini," Panglima melirik surat-surat di mejanya, "kamu bisa menjamin kehidupan istri dan anak-anakmu di masa depan. Anggap saja ini hadiah dariku."

Istri? Anak-anak? Sejak Panglima memungut Askar, pemuda itu hanya berharap mengikuti Panglima sampai akhir untuk membalas budi. Menikah dan berkeluarga tidak ada dalam pikirannya. 

"Panglima, saya tidak ingin meninggalkan Panglima," jawabnya enggan.

"Tentu saja tidak. Suatu hari nanti, mungkin aku yang akan meninggalkan-"

"Panglima!" potong Askar cepat. Apa yang Panglima katakan barusan? 

Panglima kembali duduk di kursinya dan memasukkan surat-surat aset di mejanya ke dalam sebuah kotak, dan menyodorkannya pada Askar.

"Askar, kamu bukan sekadar prajurit bagiku, kamu sudah kuanggap sebagai putraku sendiri. Orang tua yang baik memikirkan masa depan anaknya."

Artunis memandang pemuda itu hangat. Waktunya sebagai Putra Agung semakin sedikit, dan dia hanya ingin menjamin kehidupan Askar. Sebagai seorang Putrabumi, tanpa perlindungan dari Artunis, siapa yang tahu akan seperti apa nasib anak itu? Bukannya tidak mungkin bahwa Askar akan kehilangan posisinya di bawah Panglima yang baru, siapapun orang itu nantinya. Dengan 'hadiah' dari Artunis, Askar bisa menjalani kehidupannya bahkan tanpa Artunis. Dia bisa keluar dari Pasukan Fajar kalau dia mau. Dia bisa menikahi siapapun yang dia mau tanpa harus khawatir bagaimana menafkahi keluarganya. 

"Jika sesuatu terjadi padaku..."

Askar dengan enggan mengambil kotak itu dari meja, menopangnya dengan kedua tangannya.

"Apa yang akan terjadi, Panglima?"

Panglima berdehem. 

"Apapun itu, tidak ada yang akan berubah di antara kita," ujarnya sembari mempersilakan Askar keluar dari ruangan. "Segera periksa dokumen-dokumen itu, renovasi rumah itu sesuka hatimu."

"Siap, Panglima."

Artunis kembali duduk setelah Askar pergi. Satu urusan selesai, pikirnya. Matanya melirik sebuah pesan kecil yang di temukan di ruangannya 2 minggu lalu. 

Ada urusan mendadak di Vasa. Sampai jumpa. - Menno Karan

Dasar penakut, Panglima mendengus. Setelah malam yang mereka habiskan di atas tembok kota, Menno langsung kabur meninggalkan Estahr segera setelah fajar merekah. Dia bahkan belum cerita apa yang membuatnya mengobrak-abrik ruang arsip waktu itu. Kalau minggu depan dia tetap tidak pulang, Artunis tidak akan segan menyuruh Askar 'menjemput'-nya. 

Sambil menggelengkan kepala, Artunis mengambil pedangnya dan keluar. Berlatih dengan pasukannya membantu menyingkirkan Menno dari pikirannya. 

***

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang