28. Yang Jadi Pertanyaan

566 109 30
                                    

Artunis tidak bisa menahan tawanya mendengar cerita Menno, meski itu membuat tubuhnya sakit terguncang-guncang. Lebih dari satu kali sang tabib harus menarik rambutnya dan mengingatkannya agar tidak banyak bergerak.

"Kamu, Menno, memang bukan tandingan anak-anak," ucapnya di sela-sela tawanya. "Sama Arasher pun, kamu tidak bisa berkutik."

Yang ditertawai tidak bisa membantah. Menno memang mudah dimanipulasi anak-anak. Padahal, menghadapi para bangsawan semacam Hallstein bukan masalah besar baginya. Tapi kalau sudah menghadapi sepasang mata bulat di wajah mungil, pria itu tidak bisa berbuat banyak.

"Jadi sejak itu kalian berpetualang bersama?"

Menno menggeleng sembari merapikan helaian-helaian rambut di dahi Artunis.

"Perjalananku tidak selalu mulus. Mana berani aku membawa bocah di bawah umur bepergian?"

Artunis mengangkat alis menunggu penjelasan.

"Aku mengantarnya ke Stellegrim, menitipkannya pada seorang teman untuk diajar dan dilatih, baru setelah itu..."

Artunis tersenyum tipis mendengarkan kekasihnya bicara. Dia sendiri, meski hidupnya jauh dari membosankan, tidak pernah bepergian hanya untuk bersenang-senang. Mendengar cerita Menno rasanya seperti membaca cerita perjalanan tokoh-tokoh di buku cerita. Artunis seumur hidup tidak akan pernah menyesal membaktikan dirinya pada Estahr dan Surpara. Tapi kadang-kadang, mendengar kisah Menno terkadang membuat dirinya ingin juga berpetualang tanpa beban.

"Sudah berapa banyak?"

"Apanya?"

"Sudah berapa banyak anak yang kamu adopsi karena tidak tega?"

"Tidak banyak." Menno mengangkat bahu. "Aku tidak suka ikut campur, Nona," tambahnya sambil menyeringai, "dan tidak semudah itu dimanipulasi."

Artunis mendengus.

"Kamu tidak percaya?"

Jelas Artunis tidak percaya. Kekasihnya itu adalah pria yang menyelamatkannya — orang yang baru dia temui — dari racun bunga kahalu, orang yang membantunya mengatasi wabah di Estahr, walaupun itu bukan kewajibannya, dan orang yang merelakan punggungnya dipukul cambuk demi rahasia Artunis. 'Tidak suka ikut campur'?

"Menno," panggil Artunis, menghentikan tangan Menno yang tidak hentinya mengutak-utik rambutnya yang sebenarnya sudah tertata rapi. "Sewaktu memintamu menjadi kekasihku, aku pernah bilang tidak akan mempersoalkan masa lalumu, dan Putra Agung Artunis tidak pernah ingkar. Jadi aku tidak akan menanyakan soal siapa dirimu atau keluargamu."

Menno menelan ludah, dan berusaha melepaskan lengannya dari genggaman Artunis tanpa hasil. "Nona.."

"Aku cuma mau bilang, aku tidak bodoh," lanjutnya. "Aku sadar keluargamu punya kedudukan tinggi di Mirchad."

Meski keluarga Eurig tidak pernah memperlakukan Menno selayaknya seorang bangsawan, tapi hanya dengan mengamati Kyros, tentu Artunis bisa menarik kesimpulan. Bukan itu saja, cara Menno menyebut nama orang-orang Mirchad, seperti Artunis memanggil para anak buahnya, membuatnya yakin Menno punya status yang tinggi di negaranya. Lalu...

"Kenapa kamu berkelana? Apa kamu tidak mau mengabdi pada negara, membantu lebih banyak anak-anak seperti Eurig? Mungkin terjun ke dunia politik? Membantu para Putrabumi yang akrab denganmu melalui hukum dan peraturan yang lebih baik?"

Setelah menariknya sekali lagi, Artunis melepaskan lengan Menno, membiarkannya menolehkan kepala Artunis ke kanan dan kiri, memastikan tatanan rambutnya simetris.

"Aku seorang tabib, Nona. Ada banyak cara menolong orang lain tanpa menyakiti diri sendiri, atau orang-orang terdekat." Pria itu berhenti bicara sejenak, seolah berpikir sebelum melanjutkan, "Lagian, mungkin aku sudah melakukan semua hal yang kamu sebutkan tadi tanpa sepengetahuanmu."

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang