20. Demi Angin

817 187 39
                                    

Tersungkur di ranjang Artunis, Menno terlelap. Kepalanya berbantalkan tangannya yang menyilang, rambut hitamnya yang masai berjuntai di sekeliling tubuhnya. Wajah dan lengannya biru dan ungu lebam, dan dua kantung hitam tergantung muram di bawah kelopak matanya yang terpejam. 

Hilda sebenarnya tidak sampai hati membangunkan Pamannya itu. Sejak datang ke perkemahan, dengan segala kepanikan yang terjadi akibat terlukanya Panglima, Menno belum beristirahat. Pria itu bersikeras mengatur kamar Panglima, meletakkan tubuhnya di ranjang, lalu mengusir semua orang kecuali Hilda dan sepanjang malam meramu obat. 

Bahkan setelah membalut kembali luka Panglima dan menuangkan obat untuk luka dalam ke kerongkongannya, Menno menolak meninggalkan Putra Agung Surpara itu. 

Dan sekarang tubuhnya memaksanya beristirahat. 

Meski enggan, Hilda akhirnya menepuk bahu Pamannya pelan-pelan, berusaha tidak mengagetkannya.

"Paman...Paman..," panggilnya lirih. "Bangun. Ini sudah pagi."

Menno menoleh dan mengerjapkan mata. "Oh." Pandangannya kemudian beralih pada pasiennya yang belum sadar, yang rambutnya ia belai lembut sebelum meregangkan tubuhnya sendiri.

"Aduh aduh aduh," rintihnya saat merentangkan kedua tangannya. "Badanku..."

Hilda berusaha menahan tawa, sehingga yang keluar adalah suara yang mirip derit pintu tua saat dibuka. Gadis muda itu meletakkan teh hangat di atas karpet di sebelah tempat Pamannya duduk, dan mulai mondar-mandir menyiapkan baju ganti untuk Panglima.

"Setelah minum, Paman mandi sana. Aku sudah siapkan air hangat," kata gadis itu. 

Menno menyeruput teh-nya sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Artunis, tidak ingin meninggalkan kekasihnya itu. Hilda menghela nafas.

"Paman, aku mau menyeka dan mengganti baju Panglima," ujarnya. "Paman tidak boleh ada di sini."

Tabib itu terdiam sejenak. Meski tidak ingin beranjak dari kemah sang Putra Agung, mandi air panas terdengar sangat menggoda. Apalagi tubuhnya yang lebam dan linu mulai rewel minta diobati. Dengan sekali tenggak Menno menghabiskan isi cangkirnya dan dengan susah payah berdiri. 

"Kalau sudah selesai jangan lupa pasang topengnya lagi," ujar Menno, menepuk kepala Hilda sambil lalu. Anak itu dari dulu selalu menggemaskan.

Agak tertatih-tatih Menno memasuki kamar mandi sederhana yang biasa dipakai di perkemahan. Sebuah bak besar sudah siap berisi air hangat yang asapnya masih mengepul, membaut Menno tidak sabar ingin masuk. Tanpa menunda dia menuangkan obat yang sudah dia siapkan sebelumnya sebelum mencemplungkan tubuhnya ke dalam sana, menghirup aroma herbal yang sekaligus berkhasiat meringankan nyeri tubuhnya.

Sembari berendam dan menggosok tubuh, pikiran Menno mengembara. 

Artunis.

Siapa sangka Menno jatuh sedalam ini.

Bukannya Menno tidak menyayangi kekasihnya itu — Menno benar-benar menyayanginya. Gadis itu adalah jelmaan gadis impiannya. Bersinar terang dengan pesona yang tidak bisa disembunyikan, menarik perhatian semua orang di sekitarnya, namun menyimpan keindahan tersembunyi yang tidak bisa disentuh dan diuraikan oleh siapapun kecuali Menno sendiri. Dia tidak bercanda ketika bertahun-tahun yang lalu dirinya mengatakan bahwa keindahan Artunis — sebagai seorang Panglima maupun seorang gadis — tidak terlukiskan.

Tapi sebelumnya tidak pernah terpikir oleh Menno bahwa kehilangan Artunis adalah mimpi terburuknya. 

Menno selalu mengira bahwa kalaupun hubungannya dengan Artunis berakhir tidak bahagia, dia akan kembali menjadi Menno Karan yang semula, mengembara tanpa tujuan, menikmati hidup seperti biasa. Toh selama ini, itulah yang dia lakukan. 

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang