25. Dua Orang Raja

660 145 31
                                    

Di depan perapian, Menno menyandarkan punggungnya di sofa empuk sambil menyesap teh bunga krisan yang sudah entah poci keberapa. Matanya menatap kosong pada nyala api yang meliuk-liuk seperti penari di festival musim panas.

Di atas, tepat di atas kepalanya, Artunis mungkin sedang terlelap. Tadinya Menno bermaksud turun dan masuk ke kamar tamu, tidur sampai pagi melepas lelah akibat perjalanan. Tapi akhirnya, dia malah menyeduh teh kesukaannya, masuk ke ruang tengah, dan menyalakan perapian. Kenapa dia tidak bisa tidur?

Sambil mengusap dada, Menno menghembuskan nafasnya perlahan. Tentu saja dia tidak bisa tidur! Demi angin, apa yang baru saja dia lakukan? Mengagumi Artunis yang berdiri tegak di depan cermin, layaknya seorang putri bangsawan terbalut pakaian Mirchad, rambutnya yang merah menjuntai di sekeliling bahunya, matanya yang berkilau menatap balik pasangannya di cermin, pipinya yang bersemu merah menahan malu, bibirnya...

Bibirnya. Menno setengah sadar memutar tubuh gadis itu dan nyaris mengecup bibirnya.

Demi angin!

Kalau bukan karena suara guntur yang menggetarkan jendela...

Menno mengusap wajah mengingat dirinya yang kikuk dan begitu saja kabur dari kamar sambil menggumamkan selamat malam. Apa yang ada di pikirannya saat membawa Artunis ke Pondok Fajar, dan ada di rumah ini berdua saja?

Artunis perlu istirahat. Itu saja yang ada di pikirannya waktu itu, bukan? Artunis harus banyak tidur, agar luka di tubuhnya cepat sembuh. Kalau dia tinggal di perkemahan, dia tidak akan beristirahat, tidak soal apa yang Menno katakan. Sama halnya jika sang Putra Agung tinggal di Estahr. Istirahat versinya adalah duduk di ruang kerjanya dikelilingi oleh laporan dari berbagai departemen di seantero kota.

Lagipula, dia ingin menghibur gadis itu. Walau Artunis tidak menunjukkan dari raut wajah maupun kata-kata, Menno tahu kekasihnya gelisah sejak Arasher datang. Di sela-sela latihannya dengan Arasher, kadang Menno melihat senyumnya berganti tatapan kosong begitu sang adik berbalik. Menno juga sadar bagaimana Artunis menelan ludah jika Arasher mulai mengoceh tentang menjadi Panglima Tinggi saat abangnya memerintah kelak. Tapi yang paling membuat Menno pilu adalah saat termenung sendiri, garis wajahnya bagaikan seorang tahanan yang menunggu hukuman mati. Mana tega Menno melihat gadis pujaannya murung seperti itu?

Tapi bagaimana caranya Menno lupa bagian gadis dari semua alasan di atas? Membawa seorang anak perempuan ke sebuah rumah di tengah hutan tanpa siapa pun. Bagaimana bisa Menno hanya ingat bahwa Pondok Fajar harus dijaga kerahasiaannya, bahwa Artunis harus dijaga rahasianya, tanpa ingat rahasia apa yang sebenarnya dia jaga?

Lalu sekarang dia dan Panglima sedang apa sebenarnya? Main rumah-rumahan? (Bukannya ide itu tidak menarik dalam benaknya. Maksudnya, rumah sebesar ini juga akan lebih nyaman kalau ditinggali bersama, suatu hari nanti.)

Demi angin! Menno menyeduh kembali teh bunga krisannya dan meminumnya habis.

Kalau Eurig dengar, dia pasti ditertawakan habis-habisan. Kalau Liam atau Ida tahu, omelan mereka tidak akan habis sampai tahun baru. Kalau Sang Agung sampai tahu...

Menno mendengus membayangkannya. Tubuhnya akan tercerai-berai ditarik lima ekor kuda.

Menno kembali mengusap wajahnya, lalu menyambar taplak meja di hadapannya, dan membungkus tubuh seadanya. Dia tidak punya tenaga untuk masuk ke kamar. Dia hanya berharap suara guntur dan hujan di luar yang kontras dengan suara percikan api di perapian bisa membantunya tidur lebih cepat.

Sayangnya, saat Menno memejamkan mata, yang dia lihat adalah wajah Artunis yang terkejut saat bibir mereka nyaris bertemu, dan jemarinya yang meremas erat pakaian Menno saat dia berbalik meninggalkan kamar.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang