09. Suatu Saat akan Terbongkar

1K 184 41
                                    

Emiran berdiri tegap di hadapan Putra Agung Artunis, setengah resah, setengah penasaran apa yang membuatnya dipanggil ke kediaman Putra Agung malam-malam begini.  Biasanya saat Putra Agung memerlukannya, seorang prajurit akan datang ke rumahnya dan menyampaikan pesan ke salah satu pelayannya. Malam ini, bedanya, Askar datang tanpa diwakili, menjemputnya langsung dan membawanya ke hadapan orang kedua Surpara tanpa memberikan penjelasan. 

Entah ada kejadian gawat apa lagi sekarang.

Padahal Emiran sudah memerintahkan para pelayannya untuk berkemas dan bersiap-siap pulang ke perbatasan barat. 

Saat Emiran memasuki ruangan, wangi teh rempah adalah aroma pertama yang dihirupnya. Baunya menenangkan, membuat suasana di sana terasa lebih nyaman, walaupun Putra Agung di hadapannya duduk tegak tanpa ekspresi seperti malaikat maut menatap sasarannya. Tangannya terlipat di depan dada, topeng emasnya berkilatan di bawah cahaya temaram ruangan, dan bibir tipisnya terkatup rapat.

Ada apa ini?

"Putra Agung," sapa Emiran saat dirinya mulai canggung karena lawan bicaranya tidak bersuara.

"Emiran. Apa kamu tahu alasan aku memanggilmu?" 

Suara Putra Agung membuat bulu kuduk Emiran berdiri. Kapan terakhir kali dia mendengar Putra Agung bicara sedingin itu? Bahkan saat mengumumkan perang, Putra Agung tidak seperti ini. 

"Tidak, Putra Agung," jawabnya formal, berhati-hati. Sebelum Emiran tahu masalahnya, lebih baik dia tidak membuat Putra Agung kesal. Sayang sekali Emiran belum sadar bahwa tidak soal apa yang dia katakan, amarah Putra Agung tetap akan tertuju padanya.

"Hari ini aku mengunjungi rumah tahanan, mencari seseorang."

Deg. Selama sepersekian detik, Emiran pikir jantungnya berhenti berdetak. Sekarang Emiran tahu alasannya. Panglima itu mengepalkan tangan, menahan agar tubuhnya tidak gemetar. Tanpa sadar, Emiran menelan ludah.

"Aku tidak menemukannya," lanjut Putra Agung Artunis, masih belum bergerak dari posisinya. "Kurasa kamu satu-satunya orang yang tahu di mana dia berada."

Nafas Emiran semakin pendek, bulir-bulir keringat dingin muncul di dahinya. 

"Emiran. Di mana Parisha?"

Emiran terdiam kaku di hadapan Putra Agung. Jantungnya berderap seperti sepasukan kuda yang melaju menuju medan perang. Kenapa di saat seperti ini — saat harapannya nyaris terkabul — Putra Agung harus menyadari perbuatannya bertahun-tahun lalu? 

Emiran beberapa kali membuka mulutnya, hampir menjawab, tapi lehernya tercekat, dan akhirnya dia menutupnya lagi, khawatir kata-katanya akan menggali lubang kuburnya sendiri — dan Parisha. 

Putra Agung menyeruput tehnya, dan mengambil dua langkah ke depan.

"Aku masih menunggu jawabanmu."

Jawaban macam apa yang bisa dia berikan?

"Putra Agung," pada akhirnya Emiran menemukan suaranya, "aku tidak bisa melaporkan di mana dia berada."

Putra Agung mendengus, berbaik ke mejanya dan mengambil sebuah buku bersampul hitam. Emiran tidak perlu melihatnya dua kali untuk menyadari buku apa itu. 

"Menurut register tahanan, Parisha tidak pernah keluar dari rumah tahanan. Kebetulan sekali, empat tahun lalu aku tidak ada di kota ini. Sepulangnya aku, kamu sudah memiliki rumah baru dan menetap di sana. Aku tidak pernah berpikir macam-macam. Aku juga tidak curiga saat kamu berkali-kali menolak kembali ke perbatasan barat. Tapi sekarang..."

Emiran merasa suhu tubuhnya turun dengan setiap kata yang keluar dari bibir orang di hadapannya. Seandainya Putra Agung berteriak lantang penuh amarah di hadapannya, melontarkan tuduhan dan makian tentang betapa bodoh tindakannya dan betapa berat hukuman yang akan dia terima, Emiran tidak yakin dia akan setakut ini.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang