27. Seorang Anak di Hutan

737 127 29
                                    

Sekitar 80 tahun silam....

Demi mendapatkan satu lagi jenis tanaman dewa, Menno rela melakukan apa saja, termasuk terdampar di antah berantah. Tapi...

.

.

.

Ini di mana?

Sejauh mata memandang, yang tampak hanya pohon, pohon, dan pohon. Dan sebuah tebing nun jauh di sana. Dalam hati Menno yakin bahwa tanaman yang dicarinya ada di atas sana, di puncak tebing itu. Pertanyaannya, bagaimanya caranya dia bisa sampai ke sana?

Menurut penduduk desa terdekat, ada sebuah jalan pintas di hutan. Setengah hari perjalanan ke utara, seharusnya ada gua kecil yang bisa membawanya ke sisi tebing, tidak jauh dari puncaknya. Tapi ini sudah mulai sore, dan rasanya tidak ada gua di mana pun. Sebentar lagi, dirinya malah harus mencari tempat bermalam.

Sambil meregangkan tubuh, Menno menggapai botol airnya, dan melepas dahaga. Hal seperti ini sudah bukan sesuatu yang aneh. Menno akan lebih kaget kalau dia bisa dengan mudah menemukan jalan pintas. Lagipula, hal-hal tidak terduga biasanya membuat sebuah perjalanan menjadi lebih seru.

Pasrah, pria itu berjalan terus ke arah utara (setidaknya sepengetahuannya), hingga terdengar suara orang bersiul.

Selamat, pikirnya dalam hati. Setidaknya, kalau ada orang lain, dirinya tidak akan luntang-lantung. Apa pepatah bilang? "Menderita lebih enak bersama-sama."

Dengan harap cemas Menno melewati pepohonan ke arah sumber suara. Suara siulan itu agak sulit dilacak. Berpadu dengan suara angin, kadang suara itu terdengar dekat, kadang jauh. Tapi Menno tidak menyerah. Sambil sesekali memejamkan mata untuk berkonsentrasi pada indra pendengarannya, Menno terus melangkah. Hingga akhirnya dia sampai ke sebuah dataran kecil.

Anehnya, tidak ada seorang pun di sana.

Lalu, suara siulan itu...

Tiba-tiba terdengar lagi. Sang pengelana menengok ke segala arah mencari sumber suara, sampai, ketika menemukannya, dia terduduk lemas di tanah.

"Demi angin," gerutunya.

Bukannya orang, yang dia temukan adalah sebuah peluit yang digantungkan di pohon, menirukan suara siulan saat angin bertiup.

Tidak apa Menno, ucapnya mengelus dada, setidaknya kamu tahu bahwa ini tempat yang sering didatangi orang. Siapa tahu ada yang lewat nanti, dan bisa ditanyai jalan.

Setelah meregangkan tubuh, pria itu mengumpulkan beberapa ranting dan daun kering, duduk di bawah pohon rindang, dan menyalakan api unggun. Semoga tidak hujan, bisiknya. Menno menyandarkan punggungnya di batang pohon, membuka buntalannya yang berisi makanan dan menyantapnya. Tangannya merogoh kantung kecil di sabuknya, mengambil kertas kecil berisi sketsa tanaman yang dia cari.

Rasian.

Konon, mengkonsumsi daunnya bisa membuat orang melihat mimpi terindah, atau hasrat hati yang tedalam. Akarnya bisa membuat orang tertidur lelap berhari-hari, seperti orang mati. Dan bunganya.. Bunganya memberi ketenangan lebih daripada ramuan apapun yang dikenal orang.

Setelah diproses, tentu saja. Tanpa peramu yang handal, rasian bisa membuat orang berhalusinasi, lumpuh, koma, atau bahkan meninggal. Katanya, tidak sedikit binatang yang salah memakannya, dan terlelap begitu saja hingga menjadi santapan hewan pemangsa. Tidak sabar rasanya Menno mencoba bereksperimen dengan tanaman ini.

Tapi tentu saja dia harus menemukannya terlebih dahulu.

Menno mengembalikan sketsa itu ke tempatnya, dan pelan-pelan menyantap bekal yang dia bawa diiringi suara gemeretak api. Kadang suara gemeretak itu lebih keras, kadang lebih lemah, rasanya seperti dininabobokan. Ditambah dengan suara peluit yang sesekali terdengar tertiup angin. Sambil mengunyah pria itu menyandarkan punggungnya ke batang pohon dan memejamkan mata.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang