14. Beberapa Kejanggalan

1K 182 5
                                    

"Yang Mulia."

Menno mengangkat alis melihat pria muda yang membungkuk di hadapannya, memberi salam dengan penuh hormat. Kapan terakhir kali dia diperlakukan seperti itu? Beberapa tahun lalu di Castareth, mungkin? Tapi yang jelas tidak ada orang yang sudah mengenal baik 'Menno' dan 'Meinrad' dan masih memperlakukannya seperti seorang pangeran. Apa lagi namanya kalau bukan...

...merakyat. 

Tentu saja reaksi pertama Menno melihat Liam — ya, Liam yang itu, putra sahabatnya — memberi salam resmi kepadanya adalah bengong, lalu bingung, dan akhirnya berdehem setelah sadar bahwa ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengan Liam setelah Eurig memberitahunya tentang identitas Menno sebagai anggota keluarga kerajaan. Dan seharusnya Menno tidak perlu kaget. Berbeda dengan ayahnya, Liam lebih kalem, lebih berhati-hati, lebih peka, lebih...formal. 

Oh, bukan berarti Menno mau-mau saja diagungkan oleh putra sahabatnya. Menerima penghormatan yang adalah haknya dari orang-orang seperti Hallstein dan menteri-menteri Mirchad adalah satu hal, menerima hal yang sama dari orang-orang yang sudah dia anggap sebagai keluarga sendiri adalah hal lain. 

Lagipula siapa yang mau dia bohongi? Bahkan orang yang baru dia kenal pun tidak akan ingin membungkuk di hadapan 'Menno Karan', apalagi orang yang sudah Menno kenal sejak umurnya belum genap satu hari. 

"Jadi," balas Menno dengan nada suara yang membuat Liam yakin dia sedang menyeringai, walau Liam masih belum mengangkat kepalanya, "coba perjelas lagi bagian mana dariku yang paling 'mulia'?"

Cukup satu kalimat, tidak lebih, untuk membuat Liam menegakkan tubuh, menggelengkan kepala, dan mengingat kembali alasan dia butuh waktu berhari-hari untuk percaya bahwa Menno dan Meinrad adalah orang yang sama. 

"Semua bagian yang tidak kelihatan," balas Liam kesal, merasa bodoh karena menganggap serius kedudukan Menno. "Pantas saja tidak ada yang menyangka," gerutunya pelan.

"Jangan bilang begitu," kepala Bala tiba-tiba menyembul dari jendela, membuat kedua penghuni ruangan itu terperanjat. "Nanti dia pikir kamu memaksudkan hatinya."

"Tidak apa-apa Liam," hibur Menno, mengalungkan lengannya di bahu Liam, "kamu bukan orang pertama yang bilang aku berhati emas."

Liam memutar matanya dan meleos pergi ke sudut ruangan, mengabaikan tawa puas Menno dan juga Bala yang seenaknya melompati jendela untuk masuk ke ruangan. Tawa mereka belum usai ketika Liam kembali dan menyodorkan sepucuk surat pada Menno. "Dari ayah," ucapnya singkat.

Menno menaikkan alisnya. "Soal Josse?"

Liam menggeleng. 

"Semua laporan soal Josse, Jesse, atau siapapun itu namanya akan disampaikan olehku," pemuda itu menunjuk dirinya sendiri, "dan Bala."

"Terus ini isinya apa?" tanya Menno sembari membolak-balik

Liam mengangkat bahu. "Mungkin ada hubungannya dengan tiga peti yang Ayah kirimkan untukmu."

"Oh ya, soal Josse," Menno tersentak, surat di jemarinya terlupakan begitu saja, "apa yang sedang kamu lakukan di sini?"

Bala, yang dituju Menno dengan pertanyaannya melirik telunjuk Menno yang menusuk-nusuk bahunya. 

"Tugasku sudah selesai," jawabnya menepis tangan Menno. "Bayaranku terlalu mahal untuk menunggu seorang tabib keluar dari rumah." Bala duduk di atas kasur Liam dan melipat tangannya malas. "Kawanmu itu menyuruh orang lain untuk mengawasi Josse."

"Oh... Lalu soal buku obat?" Menno menengok ke arah Liam menunggu jawaban.

Liam menggelengkan kepalanya. "Tidak ada Paman. Tidak ada petunjuk sama sekali."

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang