26. Arti Sebuah Nama

642 135 35
                                    

Dengan mata masih terpejam, Artunis menarik nafas dalam-dalam, meraba sprei yang ditidurinya, dan menghirup wangi selimut yang menutupi tubuhnya.

Dia tidak sedang berada di tenda. Tapi, ranjang ini juga tidak seperti ranjangnya di Estahr. Di mana dia?

Terkesiap, sang panglima terduduk dan membuka matanya. Sinar remang menyelinap masuk dari tirai di sisi kanannya. Pondok Fajar. Artunis baru saja menghabiskan malam pertamanya di Pondok Fajar — hadiah dari kekasihnya.

Demi angin.

Setelah beristirahat semalaman, dan tubuhnya kembali merasa bugar, barulah Artunis bisa berpikir jernih, dan merenungkan betapa gilanya semua ini.

Kekasihnya kemarin baru saja memberinya sebuah rumah. Sebuah rumah dua lantai dengan setidaknya 3 atau 4 kamar di tengah hutan tanpa penghuni. Bukan itu saja, rumah ini sudah dilengkapi dengan perabotan, bahkan makanan — siap ditinggali. Artunis bisa saja tiba-tiba memutuskan pindah ke sini, dan tidak ada halangan sama sekali.

Dan yang paling luar biasa, betapa mudahnya Menno memberinya sebuah hadiah yang besar, tanpa janji, tanpa sumpah, tanpa syarat. Apapun yang terjadi di antara mereka di masa depan nanti, Pondok Fajar adalah miliknya — wujud nyata dari semua yang telah mereka jalani selama delapan tahun terakhir. Lagipula, bukankah Menno ada di setiap sudut rumah ini? Tangannya ada pada setiap pintu, setiap dinding, dan setiap barang yang ada di Pondok Fajar.

Sentuhan seorang seniman.

Sentuhan Menno Karan.

Dengan erangan kecil, Artunis bangun dari ranjangnya. Punggung terasa seperti sebatang kayu, Lukanya masih belum sembuh benar, dan tubuhnya masih kaku digerakkan. Dengan hati-hati dirinya turun dari ranjang hendak keluar dan mencari Menno, tapi sekelibat bayangannya di cermin membuatnya berhenti dan menoleh. Masih aneh rasanya melihat bayangannya di cermin mengenakan pakaian yang cantik dan anggun. Mudah bagi Artunis menikmati cantiknya pada gadis Estahr dan Stellegrim dalam pakaian mereka — gaun dengan manik-manik yang digemari Parisha, yang berkilau di bawah cahaya saat tubuhnya bergoyang mengikuti alunan musik, atau gaun dengan renda-renda yang sering dipakai Hilda, yang terlihat seperti kelopak-kelopak bunga putih saat tertiup angin. Tapi di tubuhnya sendiri...betapa ganjil.

Meski begitu, tatapan Menno saat melihatnya membuat Artunis merasa seolah-olah dirinya adalah titisan seorang Abadi. Apa yang dilihat pria itu? Tidak soal apa yang Menno lihat, jika baginya Artunis dalam pakaian wanita tidak menjijikkan, bukankah itu cukup? Tanpa disadarinya, Artunis tersenyum, lalu memutar tubuhnya di depan cermin, penasaran bagaimana tampak dirinya dari samping dan belakang.

Sejenak kemudian matanya jatuh pada sebuah peti besar di ujung ruangan. Menno bilang, peti itu hadiah dari Eurig untuk kekasihnya. Artinya, peti itu milik Artunis, bukan? Dengan langkah tegap — setegap yang dia bisa — dirinya menyambangi kotak kayu tersebut, penasaran dengan isinya. Artunis berlutut dan melepaskan kaitan logam di sana dan membuka tutupnya.

Mata Artunis berkilat disambut kain-kain beraneka warna — krem, emas, hitam, tapi paling mencolok, berbagai jenis kain merah. Sebagian adalah pakaian yang sudah jadi, dan sebagian lagi hanya gulungan-gulungan kain yang belum dijahit. Di bawahnya, sebuah kotak perhiasan berisi berbagai aksesoris mulai dari giwang hingga perhiasan rambut membuat gadis itu mengerjapkan matanya. Belum lagi hal-hal kecil seperti kipas, renda, sepatu yang terbungkus rapi, serta entah apa lagi, semuanya lengkap tersimpan, siap digunakan.

Dan Menno mengancam akan menyuruhnya mencoba semua ini? Artunis lebih memilih terbaring di ranjangnya dengan tubuh penuh luka.

Artunis bermaksud menutup peti itu kembali saat sebuah amplop menarik perhatiannya. Sepertinya amplop itu terjatuh di lantai di sisinya saat dia sibuk membongkar isi peti barusan. Tangan Artunis cekatan mengambil amplop itu dan meletakkannya di atas tumpukan kain, tidak berniat membaca sesuatu yang bukan miliknya, tapi saat Artunis melihat tulisan di balik amplop tersebut, dia berubah pikiran.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang