02. Siluet

1.5K 229 24
                                    

Emiran merasa sangat lelah.

Jamuan makan bersama dengan para panglima Pasukan Fajar berlanjut hingga dini hari. Banyaknya orang yang mengajaknya mengobrol membuatnya tidak bisa pulang bahkan setelah Putra Agung meninggalkan meja dan mempersilakan para tamunya untuk melanjutkan acara tanpanya.

Tapi Emiran tidak bisa beristirahat.

Kata-kata Putra Agung, walaupun tidak secara langsung menunjuk kepada gadis yang ia sembunyikan di balik tembok rumahnya, cukup untuk membuatnya was-was.

Kenapa? Bukankah Parisha sendiri pernah bilang bahwa Putra Agung menolak cintanya? Bukankah sekarang Parisha terjaga rapat di bagian terdalam rumahnya? Dan tidakkah fakta bahwa Putra Agung bahakn belum mencari Parisha setelah 4 tahun menjadi bukti yang cukup bahwa Parisha bukanlah wanita yang ada dalam benak Putra Agung saat dia membaca puisi itu tadi malam?

Tapi Emiran tetap was-was.

Meskipun lelah, Emiran berjalan tegap menuju paviliun tempat Parisha tinggal yang berjarak cukup jauh dari paviliunnya sendiri. Ditiup angin dingin, Emiran hanya bersyukur bahwa hujan sudah reda.

Dia sendiri tidak tahu untuk apa dia berjalan ke arah paviliun Parisha malam ini. Sudah pasti gadis itu sedang tertidur lelap, dan Emiran tentu saja tidak mungkin berniat membangunkan Parisha dari tidurnya. Mungkin dia hanya ingin meyakinkan diri bahwa Parisha berada aman dalam penjagaannya - aman bahkan dari Putra Agung sekalipun.

Langkah-langkah ringan Emiran membawanya ke paviliun tempat Parisha tinggal. Dirinya berhenti, tertegun melihat ruangan yang masih terang, dan dari jendela, siluet seorang gadis yang sedang menari terlihat jelas, pinggang yang meliuk cantik dan lengan yang mengayun gemulai dibingkai kusen jendela laksana lukisan para dewa.

Tanpa sadar Emiran mendekat perlahan, seirama dengan hentakan musik yang tidak terdengar, yang hanya ada dalam imajinasi keduanya.

Dari dekat, ada lebih banyak hal yang bisa Emiran kagumi - bulu mata Parisha yang lentik, rambutnya yang terkepang ikut tersibak ke sana kemari seiring dengan gerak tubuhnya, gaunnya yang melambai-lambai dan gemerincing gelang kakinya saat ia berputar dan berbalik. Ini bukan pertama kalinya Emiran melihat Parisha menari. Meski begitu, tidak soal berapa kali pun, Parisha tetap mampu membuat Emiran berdiri mematung dengan mata tidak berkedip, melahap setiap detik dari tariannya.

Refleks, seperti biasa, saat Parisha selesai, Emiran memberi tepuk tangan meriah, yang segera berhenti saat sang Panglima sadar bahwa suaranya adalah satu-satunya suara yang terdengar di samping suara serangga malam.

Sejurus kemudian, Emiran melihat daun jendela dibuka, dan wajah Parisha muncul dari dalamnya.

"Tuan Emiran, ada apa..."

Emiran menggaruk leher, tertangkap basah berada di sana karena kebodohannya sendiri, tanpa menyiapkan alasan yang tepat.

"Aku hanya sedang..em..berpatroli," ujarnya melontarkan dalih paling pertama yang muncul di kepalanya.

"Di malam sedingin ini?" tanya Parisha khawatir. "Apa Tuan mau masuk dan minum teh?"Emiran menggelengkan kepalanya.

"Rasanya tidak pantas kalau aku bertamu malam-malam begini."

Walaupun ini adalah rumahnya sendiri, tapi paviliun Parisha adalah milik Parisha, dan masuk ke paviliun seorang gadis malam-malam tanpa alasan mendesak sama sekali bukanlah tindakan yang sopan.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang