03. Pilihan

1.4K 220 8
                                    

Bersandar pada sebatang pohon apel, Menno duduk termenung di tepian kolam di salah satu sudut kediaman Panglima (yang luasnya bukan main). Sambil memejamkan mata Menno menikmati angin sepoi-sepoi dan suara lonceng yang dia gantungkan di salah satu dahan di dekatnya. 

Artunis sudah berangkat beberapa hari lalu. Menno yang baru datang ke Estahr begitu saja dia tinggal ke Nisaya. Walaupun kecewa, Menno hanya bisa pasrah. Kalau Sang Agung yang memanggil, apa boleh buat. Meskipun Menno tidak bisa dibilang sangat akrab dengan kakaknya (Menno jelas menyimpan terlalu banyak rahasia dari sang raja), tapi hubungan Panglima dengan ayahnya membuat Menno merasa jadi Pangeran dengan keluarga paling normal di dunia. Raut wajah Panglima saat mendapat pesan dari Sang Agung tidak menyerupai seorang anak yang dipanggil ayahnya, tapi lebih seperti seorang prajurit yang dipanggil panglimanya. 

Setiap kali Artunis bicara tentang Sang Agung, kosa katanya tidak jauh dari 'tugas', 'laporan', 'izin', dan semacamnya. Setidaknya Menno masih bisa bicara soal makanan favorit kakaknya, atau sifat pilih kasihnya yang kadang-kadang keterlaluan.

Tapi ya sudahlah. Toh seperti yang Artunis sendiri katakan, Menno tidak akan banyak berurusan dengan sang ayah. 

Suara kepakan sayap membuat Menno mengerjap. Seekor burung bertengger di dahan pohon, segulung pesan terikat di kakinya. 

Jesse Hart. Salah satu pemilik karavan Scato. Ayahnya adalah Isa Hart, seorang tabib. Ibu tidak tercatat. Tidak ada Josse. Informasi lengkap menyusul.

Di balik pesan kecil itu, sebuah sketsa tergambar - seorang pria berambut cokelat panjang, bermata hijau dengan alis tipis dan seringai kecil menghiasi bibirnya. Menno tidak yakin pernah melihat pria ini sebelumnya. Salah satu pemilik Scato?

Scato adalah koalisi dagang terbesar di Stellegrim, salah satu persatuan dagang yang menjadi oposisi besar Menno sewaktu dia masih mengurus Stellegrim dulu. Tapi Menno yakin tidak ada nama Hart di antara para pemiliknya. Orang baru? Seberapa baru? Apahak Josse dan Jesse adalah orang yang sama?

Menno menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau berpikir terlalu jauh. Seberapapun penasarannya dia, tidak ada cara menyelidiki Jesse Hart ataupun ayahnya dari Estahr. Eurig pasti saat ini sedang menyelidiki seluruh keluarga Hart dan sejarah mereka. Yang bisa dia lakukan adalah mencari tahu apakah ada hubungan antara Scato, Hallstein dan Estahr. Informasi itu ada di sini, di kota ini, di rumah ini.

Menno berdiri, menyambar lonceng yang tergantung di dahan, dan melesat pergi ke ruangan kerja Artunis tanpa memedulikan burung yang bertengger di bahunya. 

Semoga Panglima tidak keberatan.

***

Suara senandung kecil memecah kesunyian di istal kecil di sebelah paviliun milik Askar. Bukan. Bukan kesunyian. Hanya saja suara ringkik dan lenguh kuda coklat yang sedang dia sikat terasa begitu normal sehingga telinganya mengabaikan semua itu. 

Suara senandung - apalagi senandung perempuan - di sekitar paviliunnya bukanlah hal yang normal.

Askar menegakkan tubuh, masih mengelus-elus kudanya, dan berbalik.

"Panglima Muda Askar!" 

Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Hilda.

"Ada apa Hilda?"

Sambil tersenyum lebar, memamerkan giginya yang putih, Hilda mengacungkan baki berisi teh dan makanan kecil di kedua tangannya. 

Askar menggelengkan kepala, tapi tetap meletakkan sikat di ember dan menghampiri Hilda, lalu membawanya ke meja kecil di teras paviliunnya.

"Syukurlah kamu tidak ikut Panglima ke Nisaya.." Hilda duduk dan mulai menuangkan teh di cangkir mereka.

Askar mendengus kecil. Hilda menahan senyum. Ekspresi Askar saat mendengus mirip sekali dengan ekspresi Panglima saat melakukan hal yang sama. 

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang