01. Sehitam Tinta, Sebening Bulan

1.7K 249 30
                                    

"Hujan lagi, hujan lagi," keluh Menno sambil menyeruput teh bunga krisan kesukaannya. Di hadapannya, teman lamanya Eurig terkekeh.

"Memang sudah musimnya, Menno," balas pria tua itu. "Menurutmu seharusnya apa yang jatuh dari langit? Salju? Atau berkah?"

Menno dengan malasnya menguap, lalu meregangkan otot-otot tubuhnya.

"Buat apa kamu bicara berkah? Putrimu yang tertua sudah menikah dan hidup bahagia, putramu yang paling muda baru saja menikah dan sepertinya akan hidup bahagia. Cucumu satu-satunya, menguntitku kemana-mana, dan sepertinya bahagia-bahagia saja. Kamu sendiri, sudah pensiun, bisa duduk-duduk santai sambil minum teh hangat dan menikmati hasil kerja kerasmu dengan wajah bahagia. Jangan bandingkan dengan pelukis dan tabib serabutan sepertiku."

"Tabib serabutan yang setahun terakhir ini menghabiskan uang seperti pemabuk menenggak botol anggur?" sindir Eurig.

Setahun terakhir ini memang Menno menarik banyak sekali uang dari simpanannya di Eurig. Jumlahnya juga tidak tanggung-tanggung - Eurig tidak akan kaget kalau ternyata Menno diam-diam membangun galeri lukisan super besar atau tiba-tiba punya bisnis retail obat baru di mana-mana dengan uang sebesar itu.

"Kamu selama ini selalu mengomel karena uangku tidak pernah dipakai," sanggah Menno.

"Tentu saja. Buat apa punya uang kalau tidak dipakai?" Eurig terkekeh.

"Kamu yang mengajariku untuk menikmati hasil pekerjaanku, tidak soal apa itu. Jadi setelah bersusah payah membangun usaha, ya jelas saja keuntungannya harus kunikmati sampai puas."

Menno manggut-manggut, senang bahwa temannya mengikuti nasihatnya.

"Kalau begitu, kamu harusnya ikut berbahagia saat aku menggunakan hartaku untuk apa yang aku suka."

"'Apa' atau 'siapa'?" Sebuah suara kecil terdengar, disusul wajah mungil dengan senyum nakal milik Ida menyembul dari balik pintu.

"Hush! Anak kecil jangan ikut-ikutan menguping pembicaraan orang dewasa," usir Menno gusar.

Ida terkikik geli, makin ingin mengerjai pamannya itu.

"Aku tidak menguping, cuma kebetulan lewat." Dia melirik setumpuk kotak-kotak kecil dalam kedua lengannya. "Gwen memintaku membawa ini ke kamarnya."

Eurig berdehem.

"Gwen itu sekarang Bibi-mu, jangan seenaknya memanggil namanya," omel sang Kakek, sementara Hilda mengerucutkan bibirnya dan mengangguk singkat sebelum pergi. "Ketuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar Liam," ujar Eurig kemudian, dengan suara lebih lantang, namun Hilda sudah menghilang dari ruangan mereka.

Menno mengangkat alis sambil menyeruput kembali teh miliknya. Eurig menghela nafas.

"Bagaimana caranya kamu bisa tahan tinggal bersama cucuku itu di Estahr?" keluh Eurig. "Aku saja sulit mengaturnya kalau ibunya sedang pergi."

Menno tertawa.

"Bukannya sifat susah diatur itu sudah mendarah daging dalam keluargamu?" tanyanya sambil menyeringai, menuai protes kawan lamanya. "Lagipula, bukan aku yang menemani cucumu selama di Estahr."

Sekarang giliran Eurig yang tersenyum nakal ke arah Menno.

"Siapa yang menemaninya? Kekasihmu?"

Menno yang sudah mendekatkan cangkir ke mulutnya meletakkannya lagi di atas meja. 

Seandainya Menno sedang minum, dia pasti sudah tersedak.

"Siapa sebenarnya kekasihmu Menno? Sudah empat tahun aku pura-pura tidak tahu, kamu masih belum mau bicara soal itu?"

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang