08. Rahasia yang Tersembunyi

1.2K 183 17
                                    

Lupakan soal tidur. Artunis bahkan tidak jadi melanjutkan pekerjaan yang rencananya dia selesaikan pagi ini. Sebaliknya, dia dan Menno harus pergi ke bekas kediaman Mazares pagi-pagi sekali.

Semuanya dimulai dengan datangnya Askar pagi tadi, menjelaskan bahwa dia tidak jadi berangkat ke perkemahan Pasukan Fajar karena hal yang tidak terduga — ada orang menyelinap masuk ke rumahnya yang sedang direnovasi. Menurut Askar, tidak ada barang berharga yang hilang, setidaknya tidak ada barang miliknya yang hilang. Tapi laporan itu dipadu dengan kegelisahan Menno semalam membuat Panglima memutuskan untuk memeriksanya sendiri.

Tidak sendiri, tentu saja. Mana mungkin Menno mau ketinggalan?

Kedatangan Menno dan Artunis ke kediaman itu disambut oleh Hilda yang sekonyong-konyong muncul dari gerbang utama dan berlari memeluk Menno. Artunis jadi teringat kejadian di Stellegrimbeberapa tahun silam. Menno memeluk balik sambil menanyakan keadaan Hilda, persis seperti seorang kerabat dekat. 

"Ida, Ida," kata pria itu sambil mengelus kepala Hilda, "Kamu baik-baik saja?"

Hilda mengangguk dalam pelukan Menno, atau lebih tepatnya, menggosok-gosokkan wajahnya di baju Menno. 

"Cuma kaget saja, Paman. Untung saja ada Askar semalam. Kalau tidak aku mungkin sudah mati jantungan."

Menno melepaskan diri dari pelukan Hilda, lalu membungkuk dan memelototinya. "Hush, masih kecil jangan suka bilang mati sembarangan," omelnya, membuat Hilda terkikik.

Hilda mengantar mereka masuk, masih cekikikan mendengar omelan Menno. Panglima mengikuti di belakang mereka, merenungkan betapa uniknya teman-teman Menno. Mulai dari Eurig yang berusia lanjut tapi berjiwa muda, Liam yang berhati-hati tapi iseng setengah mati, Elma yang seram dengan caranya sendiri, dan gadis ini, Hilda, yang setelah diserang orang tak dikenal tadi malam tapi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda trauma. 

Mungkin bukan teman-teman Menno. Mungkin hanya keluarga Eurig yang 'unik'.

"Sebentar," Menno tiba-tiba berhenti berjalan, lalu menoleh pada HIlda, seperti baru menyadari sesuatu. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Oh iya," Hilda juga ikut berhenti tiba-tiba. Kalau Panglima tidak menjada jarak aman, mungkin dis sudah menabrak salah satu di antara mereka barusan. "Paman sendiri kenapa bisa ada di sini?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Paman baru saja datang tadi malam. Kamu sendiri? Kenapa bisa ada di rumahnya Mazares?"

"Ckckck," Hillda berdecak setengah mengejek Menno. "Paman ketinggalan berita. Ini sekarang rumahnya Askar, bukan rumah Mazares lagi."

Menno berbalik menatap Artunis, dahinya berkerut meminta penjelasan. Artunis cuma mengangguk mengiyakan, tapi tidak bicara apa-apa. Artunis memang belum sempat cerita soal rumah baru Askar sama sekali. Salah sendiri Menno pergi terlalu lama.

"Terus kenapa kamu bisa ada di rumah Askar?" tanya Menno lebih lanjut. 

"Sssttt," Hilda menaruh jarinya di bibir Menno, memberi isyarat agar tidak bicara keras-keras. "Iiih, Paman banyak tanya deh. Aku mengawasi pekerja yang merenovasi rumah ini, soalnya Askar 'kan sibuk bekerja."

Menno menaikkan alis, tidak percaya. "Kenapa harus kamu? Suruh pengawalnya lah.."

Artunis berdehem, entah kenapa membuat Menno curiga ada sesuatu di antara kedua Nona ini. 

"Cukup Menno, kita ke sini bukan untuk mengobrol," tambah Panglima, membuat Hilda menghela nafas lega. Diinterogasi Paman Menno itu kurang lebih sama menyebalkannya dengan diinterogasi ibunya sendiri. Emm, tapi tetap lebih repot ditanyai ibunya, sih, mengingat Paman Menno tidak pernah menghukumnya tidak soal kenakalan apa yang dia buat. 

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang