24. Di Pondok Fajar

788 176 57
                                    

"Selamat datang di Pondok Fajar, Nona. Hadiahku untukmu."

Artunis berdiri membisu beberapa saat, mencoba memahami kata-kata Menno. Pria itu, sebaliknya, tertawa kecil, lalu menggamit lengannya, dan membawanya masuk melalui pintu berdaun dua di depan mereka.

"Aku tidak mengerti, Menno," Artunis bicara sembari Menno menutup pintu di belakangnya. "Apa ini rumahmu?"

"Rumahmu, Nona," jawabnya, kembali berdiri di sisi Artunis. "Rumah ini milikmu. Aku membangunnya untukmu."

Mata Artunis menyipit, melirik Menno tajam.

"Aku sudah punya rumah, Menno. Aku tidak perlu-"

Jemari Menno lembut menyentuh bibir sang Panglima, membuatnya diam. "Rumah peristirahatan," ujarnya. "Bukan karena kamu perlu. Karena aku ingin."

Mendesah, pria itu memberi isyarat agar sang kekasih mengikuti langkahnya. Dengan cekatan Menno menyalakan api di tungku dan memanaskan air, sementara Artunis mengamati isi dapur dan ruang makan kecil yang, menurut Menno, sekarang adalah miliknya. Artunis mengambil tempat duduk di salah satu kursi di sekeliling meja makan tinggi yang mirip dengan yang pernah dia lihat di rumah Eurig, sementara sinar matahari senja masuk melalui jendela berbentuk busur di bagian atasnya, jatuh anggun di atas karpet tenunan khas Surpara bermotif elang dan matahari.

Tanpa dia sadari, Menno sudah berdiri di ambang pintu, mengajaknya kembali ke luar ruangan. "Apa kamu tidak mau melihat seperti apa isi rumah ini?" Menno memainkan alisnya nakal saat Artunis tidak bergeming, hingga akhirnya Nona itu berdiri dan kembali berjalan di sisinya.

Tanpa membuang waktu Menno menggenggam tangan gadis itu dan membawanya berkeliling, melihat-lihat ruang makan besar yang cocok untuk menjamu tamu, ruang kerja berperabot lengkap yang mirip dengan ruang kerjanya di rumah, ruang duduk yang nyaman di depan perapian, dan perpustakaan kecil yang masih setengah kosong.

"Aku masih tidak menyangka..," Menno mengangkat alis, menunggu Artunis menyelesaikan kalimatnya, "kamu bisa-bisanya membangun rumah di pelosok hutan seperti ini."

"Tentu saja bisa, Nona," balasnya ringan. "Asal punya tekad kuat, semuanya mungkin."

"Bujukan macam apa yang kamu pakai sampai-sampai orang mau jauh-jauh datang membangun rumah di sini?"

"Itu rahasiaku," Menno mengangkat bahu lalu mengedipkan mata. "Tapi kamu 'kan tahu sendiri, mana ada orang yang kebal rayuanku?"

Artunis menggelengkan kepala dan kembali mengikuti Menno. Gadis itu tahu Menno adalah seorang bangsawan di Mirchad. Tidak mungkin tidak. Setidaknya kedudukannya lebih tinggi daripada Kyros, dan Kyros adalah putra seorang Panglima sebelum dirinya sendiri akhirnya menjadi Panglima. Tapi, membangun rumah seperti ini di tengah hutan, belum lagi memahat batu hingga membentuk terowongan dari gua, serta membawa sekian banyak bahan bangunan dari kota ke pelosok, semuanya pasti memakan biaya besar. Melihat arsitektur rumah dan perabotan berkualitas tinggi di dalamya, Artunis tidak akan kaget jika nilai rumah ini setidaknya sama dengan rumah yang dia berikan kepada Askar.

"Kenapa tiba-tiba, Menno? Apa ada sesuatu di balik hadiahmu ini?"

"Tidak ada apa-apa." Menno kembali menggamit lengan kekasihnya, dan menepuk ringan punggung tangannya. "Aku hanya merasa kamu begitu sibuk mengurus Pasukan Fajar, mengelola Estahr, melatih adikmu. Kerja kerasmu perlu dihadiahi 'kan? Aku tidak bisa memberimu hari libur, aku hanya bisa menyiapkan tempat liburannya."

Menno tentu saja tidak bilang bahwa tadinya dia membangun rumah ini untuk dirinya sendiri, sehingga dia tidak perlu jauh-jauh ke Vasa jika membutuhkan tempat persembunyian, ah, maksudnya, peristirahatan.

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang