29. Panggilan

463 97 22
                                    

Askar menghempaskan punggungnya ke tumpukan bantal besar di belakangnya. Urusan pemerintahan di Estahr rasanya tidak ada habisnya. Sudah dari pagi dia kerjakan, sampai siang rasanya tumpukan di mejanya belum berkurang.

Askar bukannya mengeluh. Panglima saat ini sedang masa pemulihan dan harus banyak istirahat. Karena itu, pekerjaan Panglima dibagikan kepada para bawahannya. Dan karena Askar adalah satu-satunya orang yang tidak bisa pergi kemana-mana, dia diminta menangani tugas harian walikota.

Setidaknya, dia masih berguna.

Walau entah sampai kapan.

Kalau kakinya ternyata tidak pulih, entah apa yang akan dia lakukan. Rasanya tidak mungkin melakukan pekerjaan seorang panglima dari atas ranjang, atau bahkan kursi roda. Tidak mungkin juga dia menjadi mata-mata, atau melacak buronan tanpa fungsi kedua kakinya. Tapi kalau Panglima menyuruhnya melakukan pekerjaan klerikal seperti ini...

Askar kembali memijat keningnya sembari melirik tumpukan laporan di depannya. Mungkin jadi walikota memang bukan bakatnya. Lebih mudah mengelola satu perkemahan tentara daripada urusan satu serikat pedagang. Setidaknya, masalah apapun di perkemahan bisa diselesaikan dengan satu perintah, atau satu ayunan pedang. Di sini, semuanya harus ditulis baik-baik, dijelaskan pelan-pelan, belum lagi diperdebatkan. Tidak semua orang bisa seperti Panglima Artunis yang pandai memainkan pedang dan pena. Tidak. Waktu Panglima pulang nanti, Askar akan minta dipindahtugaskan, atau jika memang tidak ada jalan lain....

Suara ketukan di pintu membuat Askar berdehem, mengambil satu lagi gulungan dj mejanya dan membacanya.

"Masuk."

Sosok Hilda menyembul dari balik pintu dengan sebaki makanan dan segulung surat. Kening gadis itu berkerut melihat Askar duduk tegak dengan meja kecil di atas ranjangnya.

"Belum selesai?" tanyanya sembari menaruh makanan di meja kecil di sisi ranjangnya. "Aku bawakan makan siang."

Askar menghela nafas, membuat HIlda terkikik geli. Wajahnya stres Askar menggemaskan sekali.

"Ada surat dari Neria," tambah gadis itu lagi, menyodorkan segulung kertas padanya. "Surat untuk Panglima sudah kukirimkan pada Paman Menno. Ini untukmu."

Tanpa bicara Askar menyambar surat itu dan segera membukanya. Surat Neria biasanya berisi 'apa kabar' dan 'aku titip Panglima' ditambah sedikit berita atau gosip yang dia dengar di ibu kota. Tapi kali ini semua itu ditambah pesan-pesan untuk menjaga kesehatan dan beberapa resep obat yang mungkin bisa membantu. Entah dari mana Meria mendengar kabar soal kelumpuhannya, karena Askar yakin Panglima tidak cerita pada Neria.

Kaum Hawa terkadang lebih ahli mendapatkan informasi daripada mata-mata profesional sekalipun.

Kabar dari Nisaya adalah tentang petisi para menteri dan pejabat agar Sang Agung segera mengangkat Putra Mahkota. Kelihatannya kabar tentang Arasher yang nyaris celaka di Estahr menjadi buah bibir di Nisaya. Rumor-rumor konyol menyertai kabar itu, mulai dari pengkhianat di Pasukan Fajar hingga usaha Putra Agung Artunis untuk menyingkirkan pangeran saingan. Bungkamnya Sang Agung malah membuat gosip semakin panas, dibumbui spekulasi tentang hubungan renggang antara Sang Agung dengan Putra pertamanya, atau dengan selirnya.

Askar membacanya selewat saja. Kalau dia peduli dengan urusan politik, sudah dari tadi berkas-berkas di mejanya selesai dikerjakan. Dari semua itu, yang dia kuatirkan hanya Panglima.

Beberapa saat berlalu hingga pemuda itu sadar bahwa tatapan mata Hilda belum beranjak dari surat di tangannya. Wajahnya yang cemberut membuat Askar geli.

"Kamu mau baca?"

Hilda mengangkat bahu. "Kalau ada urusan rahasia negara aku tidak mau."

"Tidak ada," jawabnya, menyodorkan surat itu kembali ke tangan Hilda. "Neria hanya mengirimkan rahasia negara pada Panglima."

Agung (Artunis #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang