🔗8. Marmoris

129 29 42
                                    

Jam makan siang divisi satu hari ini dipenuhi aura yang sedikit canggung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jam makan siang divisi satu hari ini dipenuhi aura yang sedikit canggung. Zevara yang biasanya langsung menarik Keara keluar kantor begitu waktu menunjukkan pukul dua belas siang kali ini hanya diam dimejanya sembari diam-diam mencuri dengar isi obrolan Stefan dengan Pak Gibran selaku kepala bagian tertinggi di direktorat Tipidter.

Perempuan itu mengode dengan mata kearah Keara, Edzhar, juga Rehan begitu dua orang tadi keluar ruangan, lantas segera bergegas menghampiri Arsen yang kebetulan kemarin jadi satu-satunya anggota yang ikut bersama Stefan guna menemui terduga kasus pembunuhan di sel sementara, Martiandre Manggala.

"Nggak ada petunjuk." Seloroh lelaki jangkung yang kini disibukkan dengan ponselnya sebelum Jeje sempat bertanya. Membuat ke-empat rekannya seketika melenguh dalam nada kecewa sebagai balasan.

"Sama sekali, Sen?"

"Iya."

"Duh, pusing dah nih kepala gue jadinya." Rehan berpura-pura memegang keningnya, "Ini kasus udah macem di film Mission Impossible gitu deh lama-lama. Berbelit-belit, terus no clue. Susah!"

"Kalau gampang namanya bukan kasus, tapi itung-itungan anak paud." Arsen menimpali santai.

"Nggak gitu maksud gue. Ya masa beneran nggak ada lagi petunjuk lanjutan selain bengkel motor si Martin-Martin itu?"

Arsen menatap pada kawan-kawannya sebentar sebelum mengantongi ponsel pintar yang semula berada dalam genggaman. Pandangannya lelah, dan hembusan nafas panjang adalah satu-satunya hal yang menjadi pembuka awal cerita.

"Semuanya bersih. Gue dan Mas Stefan nggak menemukan bukti apapun lagi dari bengkel itu. Orang yang namanya Martiandre itu juga menjawab semua pertanyaan yang diajukan Mas Stefan dengan lugas. Gue pernah belajar trik psikologi sedikit, dan gue bisa merasakan kalau dia nggak terlihat terpengaruh sama sekali. Bahkan cenderung tenang."

"Terus penjelasan hubungan dia dengan korban apa?" Edzhar menanggapi.

"Korban cuma kenalannya yang kebetulan lagi nitipin motor buat diperbaiki. Itu menjelaskan kenapa nomor dia ada di daftar panggilan hape korban."

"Cerita yang terlalu mudah nggak sih buat dijadiin alibi?" Rehan mendelik kesal, "Penjelasan waktunya gimana?"

"Martiandre bilang dia lagi pulang kampung ke Jepara sewaktu korban telepon."

"Masuk akal. Tapi itu nggak menjelaskan kenapa hanya ada nomor Martiandre di riwayat panggilan korban." Giliran Keara yang bersuara. Ada hening sesaat sebelum gadis bersurai gelap itu kembali melanjutkan. "Gue pernah nggak sengaja dengar obrolan Mbak Mira sewaktu beli kopi dibawah, dan gue rasa pendapat dia ada benarnya. Lo semua tau kan kalau kurir narkoba biasanya nggak pernah bekerja sendirian? Apalagi yang modelnya kayak yang kita ringkus kemarin, mustahil kalau skala komplotannya kecil."

". . ."

"Setau gue, pengedar narkoba perorangan nggak akan bisa dapat barang sampai kiloan. Itu teori yang pertama. Yang kedua, dia nggak mungkin punya waktu buat menghapus semua kontak dan riwayat panggilan setelah diamankan pihak bandara. Faktanya selama dia buron, hape dan segala barang bukti sudah diserahkan ke pihak kitaㅡ Oke, mungkin dia memang selalu rajin buat menghapus riwayat panggilan di hapenya supaya nggak terlacak, tapi pihak operator kartu yang dia pakai pasti tetap bakal merilis daftar panggilan yang pernah dia lakukan waktu kita minta."

Us ㅡBBHWhere stories live. Discover now