Penilaian setiap orang berbeda-beda. Terkadang kita harus tetap diam menerima segalanya. Biarkan saja, Allah yang akan membalas mereka.∞∞∞
Belajar dari pengalaman dalam menanggapi masalah. Aku memutuskan tak menunda-nunda lagi untuk menyelesaikannya. Aku tidak ingin kejadian buruk seperti yang di alami Mbak Aira terjadinpada Hafna atau buruknya lagi, persahabatan yang telah lama kami jalin akan putus. Hasna dan Nayla sama pentingnya untukku. Mereka sudah kuanggap saudaraku sendiri. Apalagi aku yang notenenya anak perempuan satu-satunya di rumah. Terkadang pemikiranku dan keempat saudara lelakiku tak sejalan.
Aku ingin main boneka, mereka maunya main bola. Kan, tidak nyambung. Mereka berempat dan aku perempuan sendiri. Main dengan Maher yang ada dia ngerecokin segalanya. Main sama Bang Azka atau Manav yang ada mereka lebih banyak diam kurang interaktif. Membuat aku sebal karena merasa di kacangi. Terakhir, Maulana anak paling kalem yang suka mengalah. Apalagi menghadapi perempuan, dia sangat lemah. Jadilah kalau aku main bersamanya, aku selalu keluar sebagai pemenangnya.
Kembali ke realita, seusai kelas aku langsung mengejar Hasna yang keluar kelas lebih dulu. Langkahnya cepat, seolah sengaja menghindari dariku yang terus memanggilnya.
“Hasna tunggu!”
“Hasna, kita perlu bicara!” panggilku yang masih berusaha mengejarnya. Hasna sama sekali tak mau berhenti barang sejenak atau pun melambatkan langkah kakinya. Aku yang malas berolahraga otomatis kesulitan mengejarnya.
“Kamu Aiza, ‘kan?” sebuah suara dari arah belakang menghentikan pergerakkanku. Menoleh, kudapati seorang perempuan bergaya sosialita tengah menatap intens kepadaku. Ada apa gerangan? Siapa dia?
“Iya, saya Aiza. Anda siap—“
“Saya Helena, ibu tirinya Gibran. Bisa saya minta waktu kamu sampai sore ini?” aku terdiam. Menatap ke arah perginya Hasna, terlambat aku telah kehilangan jejaknya. Menoleh kembali pada ibu-ibu di depanku, aku mengangguk.
Perempuan yang mengaku sebagai Ibu tirinya Kak Gibran melangkah begitu anggun menuju sebuah mobil yang terparkir di luar gerbang kampus fakultas Jurnalistik. Kepalaku tertunduk dengan langkah terhela mengikutinya. Sebuah tanya menghinggapi benakku, ke mana beliau akan membawaku?
Ini kali pertama aku melihat rupanya. Saat pernikahan kami dulu, kekuarga Kak Gibran dari pihak ayah kandungnya hampir tidak ada. Hanya ayah Kak Gibran dengan seorang gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai adik tirinya. Dari informasi yang di beritahukan Hana, adik Kak Gibran. Keluarganya tidak bisa hadir di karenakan sibuk dan pernikahan kami yang begitu mendadak membuat mereka tak bisa mengambil cuti untuk menghadirinya.
Apa kedatangan Ibu Helena ini dalam rangka ingin memperkenalkan aku kepada anggota keluarga lainnya? Ah ... jika benar, sungguh aku belum mempersiapkan diri. Apalagi keadaanku yang begitu berantakan sehabis kuliah. Seharusnya beliau memberikan sedikit waktu padaku untuk bersiap.
Selain itu aku hanya mengenal Hana saja. Aku sangat gugup jika di sana mereka bertanya ini-itu padaku. Bagaimana aku menanggapinya. Dari cerita yang sering kudengar, biasanya ibu mertua akan memberikan semacam tes bagi calon menantunya. Tapi sekarang aku sudah menikah, apa beliau akan melakukan hal yang sama?
“Aiza, masuk!” suruhnya. Mengaburkan segala lamunan serta plan-plan yang tengah kususun di otak.
Menghirup napas dalam-dalam. Aku memasuki mobil sembari melafalkan doa, agar di mudahkan dalam segala urusan. Dengan melibatkan Allah dalam segala setiap hal, insya Allah semuanya bisa berjalan lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Rahasiaku [END]
Teen FictionBetapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depannya. Tapi dia menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. (Ali bin Abi thalib) *** Dalam benaknya Aiza sudah merancang masa depan indah bersama lelaki ya...