17. Teror

3.1K 278 7
                                    

Jangan mengeluh pada takdir kehidupan tapi, berjuanglah untuk sesuatu yang masih dapat di perjuangkan.
∞∞∞

Perubahan yang cukup signifikan pada perilaku Kak Gibran membuatnya terlihat kurang fokus dalam melakukan suatu hal. Seperti sekarang, dia masih terdiam di depan lemari. Kemeja yang ada di tangannya tak kunjung dia kenakan, padahal aku tahu dia baru saja mendapat panggilan darurat dari rumah sakit. Masih ingat ringtone bernada ambulance yang di pakai pada ponselnya? Ternyata itu nada khusus untuk sesuatu hal yang begitu penting dan mendesak baginya. Mbak Aira juga termasuk di dalamnya.

Aku ragu untuk menegurnya. Kak Gibran sedang dalam suasana hati tak menentu. Seperti musim pancaroba, kadang bersikap sedingin hujan kemudian berubah jadi kemarau membuatku kegersangan karena dia marah padaku. Mirip-mirip keberadaanku layaknya pemeran figuran dalam sebuah drama atau novel. Tugasnya hanya muncul di saat tokoh utama membutuhkan kehadiranku, kalau tidak, langsung terlupakan begitu saja.

Bukan tanpa sebab Kak Gibran menjadi seperti ini. Aku tahu perubahan itu terjadi sejak bazar amal di kampusku. Pertemuan tak terencana dan tak terduga yang di alaminya, membuat dia shock. Ya, perempuan itu tak lain adalah Bu Melda. Dosen baru di fakultasku. Kak Gibran hanya diam mematung dan diam seribu bahasa untuk menanggapi ucapan Bu Melda. Tapi aku melihat di sorot matanya ada hal yang begitu mengejutkan hingga dia terpaku tanpa bisa mengucap sepatah kata pun.

Saat itu, aku hendak bertanya perihal hubungan mereka tapi Nayla menghampiri kami dan berusaha menjelaskan kebenarannya pada Kak Gibran yang dia anggap angin lalu saja olehnya. Bahkan saat teman-temannya menarik dia pergi karena ada pasien yang harus segera di tangani, tetap tak ada tanggapan. Tatapannya terus tertuju pada Bu Melda.

Dulu Mbak Aira dan sekarang Bu Melda. Kenapa Kak Gibran selalu menyukai perempuan yang seumuran dengannya. Meskipun tidak ada penjelasan yang terlontar dari bibirnya, aku tahu jika Bu Melda pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Kalau tidak, kenapa dia begitu terkejut saat melihatnya. Sementara aku hanya perempuan biasa, manja, kekanak-kanakan, dan punya banyak trauma. Hal apa yang bisa kubanggakan agar dapat menyaingi mereka atau sekadar pantas di setarakan dengan mereka.
Ringtone ambulance kembali bergema. Menarik napas panjang, aku beranjak dari ranjang. Kalau di biarkan terus menerus, Kak Gibran mungkin akan terus mematung.

"Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum. Laa ta'khudzuhuu sinatuw wa laa naum. Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh. Man dzal ladzii yasyfa'u 'indahuu illaa bi idznih. Ya'lamu maa bayna aidiihim wa maa khalfahum. Wa laa yuhiithuuna bi syai-im min 'ilmihii illaa bimaa syaa-a. Wasi'a kursiyyuhus samaawaati wal ardh walaa ya-uuduhuu hifzhuhumaa Wahuwal 'aliyyul 'azhiim."

“Apa maksud kamu baca ayat kursi di sebelah saya? Kamu pikir saya setan, apa?!” Kak Gibran kaget lantas memarahiku.

Aku tertawa kecil melihatnya wajahnya memerah. “Nggak! Aiza sadar Kak Gibran manusia tulen, cuma Aiza takut aja setannya masuk ke badan Kakak.”

“Kenapa kamu berpikiran seperti itu?”

Aku menggeleng, “Kak Gibran nggak sadar, kalau udah bengong di depan lemari hampir sejam?”

“Hah?” dia kebingungan. Sedetik kemudian kepalanya mendongak, menatap jam dinding. “Sial!” umpatnya.

“Itu hapenya juga bunyi terus!” tunjukku pada ponselnya yang tergeletak di meja nakas.

Setelahnya dia berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap. Bibirku mengerucut, bisa tidak dia berlaku sedikit manis padaku? Bilang terima kasih, kek. Kapan kiranya es di hatinya itu mampu kucairkan? Aku memang mencintai dia apa adanya, tapi aku juga sama seperti perempuan lain di luar sana yang menginginkan secuil perhatian dari orang yang kita cinta.

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang