23. Nasehat Umma

3K 286 15
                                    

Seseorang itu tergantung pada agama sahabatnya. Maka perhatikanlah salah seorang dari kamu kepada siapa dia bersahabat.
[HR. Abu Daud]
∞∞∞

Kami masih sama-sama berdiri dalam jarak jauh. Hening melingkupi suasana. Pandangan kami saling terpaut tapi bibirnya tak kunjung mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaanku. Begitu sulitkah? Hingga dia membisu?

Dering ponsel memecahkan hening itu. Kak Gibran memutus pandangannya dariku lalu beralih menggapai ponselnya di saku. Menerima panggilan dan mengabaikan tatapanku yang di selimuti tanda tanya. Sebelum melangkah keluar dia berkata, “Nanti saja saya jawab. Ini benar-benar gawat dan saya tidak bisa menundanya.”

Pintu tertutup bersamaan buliran bening runtuh. Isak tangis tak lagi bisa kubendung. Dia memamh belum menjelaskan apa pun mengenai posisiku tapi satu hal yang pasti, posisiku tudak lebih penting ketimbang Bu Melda. Satu panggilan dari Bu Melda bisa membuatnya sepanik itu sementara aku? Butuh waktu berulang kaki untuk dapat menarik perhatiannya. Miris.

Aku diam mematung menatap kepergiannya sampai dering ponsel menyadarkanku. Kulihat nama Bang Azka tertera sebagai pemanggil. Mengusap bulir yang menbanjiri pipi sembari menghela napas lalu aku menjawabnya.

“Assalamualaikum warahmatullahi, Bang Azka.” Terdengar balasan salam dari seberang kemudian Bang Azka menanyakan kabarnya.

“Alhamdulillah, Aiza baik. Abang sendiri?”

“Nggak usah bohong sama Abang. Kamu lupa kita kembar? Dan sekarang Abang lagi ngerasain nyeri di dada. Jawab jujur kamu ada masalah?”

“Hiks ... Abang bisa anterin Aiza pulang ke rumah? Aiza kangen Umma. Aiza mau peluk Umma ...”

“Tunggu. Abang sampai lima belas menit lagi!” kemudian panggilan di tutup. Aku meluruh jatuh ke lantai. Aku rindu pelukan umma.

Seberapa kuatnya aku dari luar tetap saja aku sosok rapuh. Semuanya datang bertubi. Teror yang tak kunjung terhenti lalu Hasna yang masih memusuhiku dan kini Kak Gibran menjauh.

***

Di pelukan umma tangisku tumpah. Untung baba masih lembur di kantor sehingga aku mampu meluapkan segala gundah di pelukan umma. Namun aku masih tahu batasan untuk menjaga aib suamiku. Aku hanya mengatakan sebagian masalah yang kuhadapi.

“Terus kamu udah baikan sama Hasna?” aku merenggangkan pelukan, menghapus air mata lalu menggeleng.

“Hasna nggak mau ngomong sama Aiza. Kemarin pas Aiza ulang tahun aja dia ngasih amplop sebagai syarat buat kita baikan.”

“Syarat? Kalian kan sahabatan terus kenapa mau baikan aja harus pakai syarat?”

“Aiza juga nggak tahu. Hasna hindari Aiza terus. Huwaaa ...” tangis kembali membanjiri wajahku.

“Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Sekarang Umma tanya, selama kamu sahabatan sama Hasna apa dia membawa kebaikan untuk kamu?”

Aku merenung. Memikirkan persahabatanku dengan Hasna.
“Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Rasulullah pernah bersabda, “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk, bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan seorang pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli minyak wangi darinya atau minimal engkau mendapatkan harum wanginya. Adapun berteman dengan seorang pandai besi, jika engkau tidak mendapati badam atau pakaian yang hangus terbakar, minimal engkau mendapatkan bau yang tidak sedap.”

Nasehat umma kucerna baik-baik. Aku ingin bersahabat hingga ke Jannah-Nya baik dengan Hasna mapupun Nayla.

Umma mengusap puncak kepalaku penuh sayang. Aku mendekat, meletakkan kepala di bahunya. Rasanya nyaman. Sudah lama sejak terakhir kali aku bermanja padanya. “Mau dengar sebuah kisah?” Aku mengangguk antusias. Cerita umma selalu menambah semangatku untuk memperbaiki diri juga menambah pengetahuanku tentang agama. Kisah-kisah inspiratif di jaman Nabi yang sering beliau ceritakan.

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang