Tindakan yang tidak di dasari oleh pemikiran matang. Sering kali menjerumuskan.
∞∞∞Setibanya di rumah, tangisan pilu Umma mengudara. Menghujam dadaku dengan begitu menyakitkan. Dua hal yang sangat kuhindari kini terpampang jelas di depan mataku. Umma yang tiada henti menangis lalu Baba yang terdiam berusaha meredam emosi dalam hatinya. Dan aku lah penyebabnya dua hal itu terjadi. Kedua orang paling berharga di hidupku merasakan gejolak menyakitkan karena aku.
Berulang kali, aku mengatakan pada Umma agar berhenti menangis. Ini bukan kesalahannya. Aku sendiri yang mendatangi sumber masalah dan sudah sewajarnya juga aku lah yang menanggungnya. Sendirian. Tapi kenapa mereka berdua ikut merasakan akibat perbuatanku? Sungguh ... rasanya jauh berkali-kali lebih menyakitkan.
Memang di antara kami berlima. Aku, Bang Azka, Manav, Maulana dan juga Maher yang terkenal akan kenakalannya adalah si bungsu Maher. Namun perihal siapa yang paling sering membuat Umma menangis itu aku. Pada Maher Umma hanya kesal, setelah menjewer telinganya maka sirna lah kekesalannya. Sebaliknya, jika ada sesuatu terjadi padaku. Lelehan air mata tak terelakan selalu jatuh membanjiri pipi mulusnya. Alasan utama di baliknya, karena aku satu-satunya anak perempuan Umma. Permata hati mereka.
Kebanyakan orangtua memang cenderung memberikan protektif lebih over pada anak perempuan mereka. Begitu juga Baba dan Umma. Sedewasa apa pun aku, di mata mereka aku masih lah anak kecil. Bukan, maksudnya mereka mengekangku atau tidak mau mendengarkan pendapat dariku. Ini lebih mengarah pada kecemasan mereka yang berada di level atas.
Kekhawatiran mereka semakin bertambah seiring usiaku. Maraknya kasus pelecehan terhadap perempuan muda termasuk alasan terbesar dari sekian banyak alasan lainnya. Apalagi tinggal di kota Jakarta yang rawan sekali tindak kriminalitasnya. Tentu saja rasa was-was mereka terhadapku dan lingkup pergaulanku juga makin besar. Meskipun aku sedikit banyak telah belajar bela diri dari Bang Azka. Umma dan Baba masih tidak tenang membiarkanku pergi sendirian tanpa pengawasan. Saat siang apalagi malam.
“M-maafin Umma ... Umma nggak b-becus jagain kamu. Hiks ... Maaf ....” Kepalaku menggeleng. Kurengkuh sebelah tangan Umma yang tengah mengobati sudut bibirku lalu membawanya ke pipi. Menghantarkan rasa hangat nan nyaman juga menenangkan di sana.
Selang beberapa saat, aku mendongak. Menatap wajah Umma yang di penuhi hujan air mata. “ Umma nggak salah. Aiza yang salah. Coba aja kalau waktu itu Aiza nggak menghindar dan mau ngobrol sama Mbak Aira. Pasti kejadiaanya nggak bakalan kayak gini,” sesalku. Namun, apalah dayaku sekarang, semuanya sudah menjadi bubur. Bagaimana bisa aku memperbaiki keadaan semula?
“Husshhh ... istigfar. Jangan ngomong gitu. Ini udah menjadi ketetapan takdir yang di gariskan oleh Allah. Kalau kamu berandai-andai gitu malah membuka peluang buat masuknya setan.” Aku terperangah, benar apa kata Umma. Aku baru saja merutuki takdir Allah. Astagfirullahal al’ adzim. Maafkan hamba Ya Robb ....
Efek patah hati memang imbasnya luar biasa. Dia mampu membuatku bertindak tanpa pikir panjang. Patah hati boleh saja, tetapi akal sehat harus tetap jalan. Jangan malah terbujuk rayuan setan. Mungkin saja, Mbak Aira waktu itu ingin memberitahukan sesuatu hal yang penting. Lihatlah sekarang, akibat dari perbuatanku. Semua orang merasakan sakit. Aiza kenapa kamu bisa sebodoh ini?!
Penyesalan selalu datang di akhir dan aku hanya bisa berdoa supaya Mbak Aira segera sadar. Semoga dia masih di berikan umur panjang agar dapat kembali berkumpul bersama keluarganya. Dengan itu, mungkin beban berat di punggungku baru akan terangkat.
Aku menghapus air mata di pipi Umma dan beliau pun melakukan hal sama. Sejenak hening melanda sebelum aku melihat pergerakan Baba. Beliau bangkit dari sofa hendak beranjak pergi. Selangkah beliau berjalan, aku langsung menghadangnya. “Maafin Aiza, Ba ... Aiza ngaku salah. Maafin Aiza. Kalau Baba marah lampiasin aja ke Aiza, jangan di pendam sendiri. Aiza yang bertindak gegabah. Aiza yang nggak nurut sama perkataan Baba dengan diam-diam ke rumah sakit. Aiza pantas menanggung akibat dari perbuatan Aiza. Marahin Aiza, Ba. Marahin Aiza aja ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Rahasiaku [END]
Novela JuvenilBetapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depannya. Tapi dia menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. (Ali bin Abi thalib) *** Dalam benaknya Aiza sudah merancang masa depan indah bersama lelaki ya...