Ketakutan, membuatku memilih pergi dari pada semakin sakit hati.
∞∞∞Terbangun di sebuah ruangan asing membuatku bergegas bangkit. Rasa pening masih mendominasi isi kepalaku. Berulang kali kulangitkan istigfar untuk mengurangi rasa pusing itu. Mungkin selain benturan keras yang kualami ketika terjatuh tadi, dosa yang kumiliki juga mempunyai andil besar. Astagfirullah Wa Atubuilaih.
Setelahnya rasa pusing yang senantiasa menggelayuti kepala, perlahan menghilang. Menatap kesekitar, ternyata aku berada di sebuah klinik. Ini lebih baik dari pada rumah sakit yang penuh dengan darah.
“Alhamdulillah, Za. Akhirnya lo bangun juga, gue udah panik banget tadi.” Suara Nayla menyapa gendang telingaku. Menoleh ke kanan, di sana ada Nayla yang tengah berdiri menatap penuh syukur melihat aku sadar.
“Za, kok lo bisa tiba-tiba pingsan?” Hasna yang baru melontarkan pertanyaan langsung mengaduh kesakitan, saat Nayla mencubit lengannya keras.
“Lo tuh, ya! Orang Aiza baru bangun juga. Nanya soal itu nanti aja, tunggu dia agak baikkan dulu,” tegur Nayla. Kemudian dia mengambilkan segelas teh hangat untuk aku minum.
“Makasih Nayla. Aku kecapean aja makanya tadi pingsan, kalian nggak usah khawatir berlebihan gitu.” Kuserahkan kembali gelas berisi teh yang telah kuminum setengahnya pada Nayla.
“Beneran cuma itu?” Hasna menatap penuh selidik. Di antara kami bertiga yang paling peka dengan sekitar adalah Hasna. Pernah sekali aku membohonginya dan berakhir tidak baik, karena dia dapat mengetahuinya detik itu juga dari gelagatku.
“Ekhm, iya.” Aku memasang mimik sepolos mungkin, agar Hasna percaya. Jika dia mengetahui kebenarannya, maka itu akan berdampak buruk. Dia bisa memaksaku menjalani rangkaian pengobatan dengan segala cara yang dia bisa.
“Siapa dokter yang menanganiku?” tanyaku.
“Za, wanita yang tadi sama Dokter ganteng itu yang nanganin lo. Mereka pasangan couple goals banget, ya! Nggak papa deh, harapan gue buat bersanding sama Dogan itu pupus. Lagian mana mampu gue nyaingin Docan tadi. Selain cantik dia itu lemah lembut, sholeha banget lagi,” terang Nayla menggebu-gebu.
“Iya, mereka itu pasangan terpefect. Satunya ganteng, satunya cantik. Mana profesinya sama-sama dokter lagi. Gue langsung mutusin mundur teratur deh, detik ini juga.”
“Emang susah buat dapetin cowok tampan, sukses, masih muda dan single. Kebanyakan dari mereka pasti udah sold out. Ya, jadinya perempuan remahan peyek kayak kita gini belum laku-laku.”
Mendengar cerita mereka tentang kekagumannya terhadap pasangan perfect itu membuatku menilai diri sendiri. Seorang gadis yang masih berada di tingkat semester dua jurusan Jurnalistik Syariah, memang terdengar lucu jika di sandingkan dengan dokter tampan plus mapan seperti dia. Ibarat pepatah pungguk merindukan bulan. Hanya bisa tergapai dalam angan.
Dia terlalu sempurna untukku yang bukan apa-apa.
“Za, itu dokter tampannya balik lagi!” seruan Nayla menyadarkanku dari lamunan.
Mendongakkan kepala, pandanganku tertuju tepat pada sesosok lelaki berpakaian olahraga lengkap.
Sepintas kulihat raut wajahnya menyiratkan ketidak sukaan yang nyata. Mengalihkan pandangan ke mana pun yang penting tidak mengacu padanya itu lah yang berusaha kulakukan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Rahasiaku [END]
Teen FictionBetapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depannya. Tapi dia menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. (Ali bin Abi thalib) *** Dalam benaknya Aiza sudah merancang masa depan indah bersama lelaki ya...