33. Bimbang

5K 326 23
                                    

Kita punya rencana, tapi Allah punya kuasa.
∞∞∞

“Melda keluar!” teriak Gibran. Setelah mendengarkan keseluruhan rekaman suara itu dia langsung berbalik ke posko.

“MELDA!” volume suaranya semakin keras. Gibran tak peduli jika suaranya menganggu orang lain.

Sosok perempuan memakai piyama keluar. Tangannya sigap merapikan rambutnya yang berantakan sembari melangkah ke hadapan Gibran. Tak lupa lengkungan indah terbit di wajahnya.

“Iya, Gibran. Ad apa?” sahutnya lembut.

“Di mana Aiza?!” Gibran tanpa basa-basi langsung mengutarakan tujuannya. Matanya menyorot tajam Melda. Sama sekali tidak menduga bahwa perempuan ini mampu berbuat kejam.

“Aiza hilangkan? Kenapa kamu tanya sama aku? Jelas aku nggak tahu dia di mana.” Seperti biasa Melda pintar berkamuflase—seolah-olah tidak ada yang terjadi antara dirinya dan juga Aiza.

“Nggak usah pura-pura. Saya tahu semuanya!” geram Gibran. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Kalau saja Melda itu lelaki, sudah habis Gibran memukulinya. Namun, dia sadar di hadapannya adalah makhluk berjenis manusia sementara hatinya iblis.

“Gibran, aku beneran nggak tahu di mana Aiza. Aku dari tadi sibuk membantu warga yang butuh pertolongan.”

“Bohong! Jelas-jelas kamu ketemu Aiza sebelum dia menghilang.”

“Gibran kayaknya kamu kecapean. Istirahat dulu, yuk. Aku buatin teh hangat madu kesukaan kamu.” Melda meraih lengan Gibran hendak menuntunnya untuk duduk. Tapi Gibran mengelak, berganti menuding Melda.

“Tidak usah mengalihkan perhatian. Saya tanya di mana Aiza?!” desak Gibran. Rahangnya mengeras dan dadanya naik turun karena emosi.

“Aku nggak tahu Gibran. Kamu harus percaya sama aku.” Tatapan Melda berubah sendu.

“DI MANA AIZA!”

Teriakan Gibran mengundang perhatian semua orang beralih padanya. Rasa penasaran membuat mereka memdekat. Membentuk kerumunan. Tak terkecuali orang-orang yang tadi ikut mencari Aiza.

“AKU NGGAK TAHU!” balas Melda tak kalah keras. Tekanan mulai dia rasakan. Menarik napas dalam-dalam Melda melanjutkan sanggahannya. “A-aku ke sini murni untuk membantu para korban. Aku nggak ada sangkut pautnya sama hilangnya Aiza.”

“Yakin?” Gibran menaikkan sebelah alisnya.

“Iya. Niatku cuma itu.”

Gibran mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau begitu, ini apa?” Gibran mengacungkan ponselnya, kemudian dia memutar rekaman yang Aiza kirimkan.

Hening. Orang-orang memfokuskan pendengaran mereka. Perdebatan sengit di antara dua perempuan terdengar jelas di rekaman itu. Beberapa kali si pemilik ponsel mengerang kesakitan.

Plak!

Bersamaan dengan selesainya rekaman itu. Suara tamparan terdengar. Nayla berdiri di hadapan Melda. Sorot matanya menyiratkan kemarahan.

“Iblis betina! Tega lo sakitin sahabat gue?!”

“Jaga bicara kamu. Saya ini dosen.”

“Alah ... nggak usah sok pengen di hornatin deh, lo! Percuma pendidikan tinggi selangit kalo kelakuan lo minus!”

“Cepet bilang di mana Aiza sekarang?!” Nayla maju, mencengkeram lengan Melda kuat. Emosi telah mengambil alih.

Gibran diam. Emosinya kian menggebu saat Melda tak kunjung mengaku. Sahabat yang dia kenal sejak kecil telah berubah banyak hingga rasanya tak mengenalnya lagi. Gibran tahu Melda menyayanginya begitu pula Gibran. Perbedaanya Gibran menyayangi Melda sebatas sahabat sementara Melda entah sebesar apa. Sorot matanya berbeda. Terlalu pekat, seolah-olah memiliki kuasa atas dirinya.

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang