27. Teka-teki

2.5K 248 7
                                    

Terima kasih imamku. Aku bersyukur memiliki kamu.
∞∞∞

Pesona Kak Gibran yang berkeringat sehabis memasak jauh lebih menawan. Aku sampai terpelongo memandanginya dan baru tersadar ketika Kak Gibran memasukkan sesuap nasi goreng buatannya. Impulsif, mulutku menguyah makanan itu dan saking terpesonanya aku sampai menahan napas. Alhasil aku baru tersadar saat tersedak.

“Khak Ghibraaem jail!” kataku dengan mulut masih penuh makanan.

“Habisin makanannya dulu. Jangan bicara sambil makan, tidak baik. Nanti kamu tersedak lagi.” Kak Gibran mengingatkan. Matanya berkilat tajam. Aku mendengkus, memalingkan wajah darinya. Namun tak ayal tetap mengikuti perintahnya. Melahap habis makanan di piringku.

“Nah, anak pintar. Sekarang minum teh madunya. Saya tidak mau kamu sakit lagi.”

“Aiza nggak kehujanan. Beneran.” Aku menatap Kak Gibran lekat. Mengatakan lewat tatapan bahwa aku baik-baik saja.

“Kenapa nggak ngabarin saya kalau ada kegiatan sampai malam, hm?” introgasi di mulai.

“Hehehe ... sebenarnya Aiza mau ngabarin Kakak, Cuma pas banget kebetulan baterai ponsel Aiza lowbat. Jadinya ...” aku menundukkan kepala, menatapi tangan yang saling memilin di pangkuan. “Aiza lupa deh mau nelpon Kakak. Maaf, ya kalo Aiza buat Kakak khawatir.” Lanjutku merasa bersalah.

Kak Gibran meraih daguku. Membuat tatapan kami bertemu. “Lain kali jangan di ulangi. Saya khawatir sekali. Mana saya juga tidak punya satu pun kontak teman kamu. Saya khawatir kamu kenapa-napa.”

“Maafin Aiza. Kak Gibran jangan marah, ya?” kuraih tangan Kak Gibran menggoyang-goyangkannya ke kanan ke kiri, sembari menatapnya penuh permohonan. Tadi Bu Melda tiba-tiba memberikan banyak tugas dan harus di kumpulkan secepatnya. Belum lagi beberapa buku yang harus di beli untuk referensi tugas susah di cari. Aku tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya. Aku tidak mau Kak Gibran menegur Bu Melda yang berujung buruk.

“Saya tidak bisa marah lama-lama sama kamu. Mulai sekarang kamu wajib mengabari saya setiap dua jam sekali. Jangan lupa makan juga. Saya pernah dengar dari Baba kalau kamu suka bolos makan. Kalau kamu lupa lagi, saya akan teror kamu supaya kamu tidak telat makan.”

Aku meringis. Baba membocorkan kebiasaan burukku. Suka kelupaan makan. Bahkan aku pernah makan siang jam lima sore. Saking keasyikan melakukan sesuatu, aku sampai kelupaan makan.

“Jangan zholim sama tubuh sendiri. Tubuh kamu juga perlu di sayang. Tubuh itu titipan Allah untuk kamu jaga. Sehat mahal harganya. Saya tidak mau melihat kamu datang ke rumah sakit sebagai pasien.” Kepalaku semakin menunduk. Aku melupakan hak-hak tubuhku sendiri. Dzolimnya aku sama tubuh sendiri. Allah maafkan hambamu ini.

“Ingetin Aiza kalo Aiza salah, ya Kak.” Kak Gibran mengangguk kemudian merengkuhku dalam pelukannya.

“Sudah menjadi tugas saya membimbing kamu menjadi lebih baik. Sekarang kamu adalah tanggung jawab saya. Kamu juga harus melakukan hal yang sama kalau suatu saat nanti saya melakukan kesalahan.”

“Pasti. Aiza mencintai Kak Gibran karena Allah. Baik itu kekurangan ataupun kelebihan Kakak.” Setelahnya aku menenggelamkan wajah di dadanya. Malu.

“Saya berharap nanti kita bisa dipasangkan kembali di surganya kelak.”

“Amiiinnn.” Senyumku menggembang sempurna dalam pelukannya.

Indah sekali. Allah terima kasih. Semoga kedepannya kami bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Baik dalam keadaan suka maupun duka.

***

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang